Indonesia on Facebook:
FaceBook on


Shubuh 04:13
Terbit Fajar 05:25
Dzuhur 11:37
Ashar 14:58
Maghrib 17:49
Isya 18:57
Untuk Jakarta & sekitarnya

Jadwal Sholat

Joint FaceBook


Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, terangkan kepadaku, apa yang paling berat dan apa yang paling ringan dalam beragama Islam?"

Nabi bersabda, "Yang paling ringan dalam beragama Islam ialah membaca syahadat atau kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasulullah."

"Sedang yang paling berat adalah hidup jujur (dapat dipercaya). Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur." (HR Ahmad Bazzar).

Kalau seseorang itu beriman, mestinya ia yang jujur. Kalau tidak jujur, berarti tidak beriman. Kalau orang rajin shalat, mestinya juga jujur. Kalau tidak jujur, berarti sia-sialah shalatnya. Kalau orang sudah berzakat, mestinya ia juga jujur. Kalau tidak jujur, berarti zakatnya tidak memberi dampak positif bagi dirinya.

Anas RA berkata, "Dalam hampir setiap khutbahnya, Nabi SAW selalu berpesan tentang kejujuran. Beliau bersabda, 'Tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Tidak ada agama bagi orang yang tidak konsisten memenuhi janji'."

HR Ahmad Bazzar Thobaroni menyebutkan sahabat Abu Hurairah RA berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Ciri orang munafik itu ada tiga, yaitu bicara dusta, berjanji palsu, dan ia berkhianat jika mendapat amanat (tidak jujur)'." (HR Bukhari).

Abdullah bin Utsman berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Ada empat sikap yang kalau ada pada diri seseorang maka yang bersangkutan adalah munafik tulen, yaitu kalau dapat amanat, ia berkhianat (tidak jujur); kalau berkata, selalu bohong; kalau berjanji, janjinya palsu; kalau berbisnis, licik'." (HR Bukhari Muslim).

Orang jujur itu disayangi Allah. Dan, orang yang tidak jujur dimurkai Allah SWT. Kejujuran menjadi salah satu sifat utama para Nabi, salah satu akhlak penting orang-orang yang saleh.

Kejujuran adalah kunci keberkahan. Kalau kejujuran sudah hilang di tengah-tengah masyarakat, keberkahannya pun akan hilang pula. Dan, apabila keberkahan sudah hilang, kehidupan menjadi kering, hampa tanpa makna.

Kehidupan diwarnai dengan kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, dan kekecewaan karena sulit mencari manusia yang jujur.

KAJIAN FIQIH (Kitab Tayamum) Kesalahan-kesalahan Dalam Wudlu

Artikel Fiqih :

KESALAHAN-KESALAHAN DALAM WUDHU


1. Tidak membasuh kedua telapak tangan sebelum berwudhu lebih-lebih sehabis bangun dari tidur. Sabda Nabi saw:


إِذَا سْـتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلاَ يَغْـمِسْ يَدَهُ فِي الإِنَاءِ حَتىَّ يَغْـسِلَهَا فَإِنَّهُ لاَيَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ .

“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga dia membasuhnya karena dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

2. Mengusap kepala hanya dengan mengusap beberapa helai rambut saja.
Yang wajib adalah mengusap kepala bukan rambut. Jadi kalau dengan beberapa -bahkan sebagian orang hanya dengan satu dan tiga helai saja- rambut dianggap cukup dalam mengusap kepala maka ia keliru. Katakanlah ada sebagaimana ulama yang mengatakan dalam mengusap kepala cukup dengan sebagian kepala, akan tetapi tidak berarti sebagian di sini bisa diwakili dengan beberapa helai rambut semata dan penulis yakin bahwa bukan itu yang mereka maksud. Lebih-lebih yang shahih dari Nabi saw tentang mengusap kepala dalam wudhu adalah mengusap seluruhnya. Dari Abdullah bin Zaid tentang wudhu Nabi saw,


بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتىَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلىَ قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلىَ المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ .

“Beliau memulai dengan kepala bagian depan, lalu menggerakkan kedua tangannya ke tengkuknya kemudian mengembalikan kedua tangannya ke tempat di mana beliau memulai.” (HR. Al-Bukhari).

3. Boros air.
Boros atau israf tidak dicintai Allah, termasuk dalam berwudhu, Nabi saw sendiri mencontohkan pengiritan dalam bersuci, beliau mandi dengan satu sha`, jika mandi dengan satu sha` berarti wudhu kurang dari itu. Di samping itu boros air termasuk melampui batas dalam bersuci yang dilarang. Dari Abdullah bin Mughaffal berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda,


إِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي هَذِهِ الأُمَةِ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الطَّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ .

“Akan ada orang-orang dari umat ini yang melampui batas dalam berwudhu dan berdoa.” (HR. Abu Dawud dengan sanad –menurut al-Arnauth- yang kuat).

4. Berlebih-lebihan dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali dan melampui batas seperti membasuh kedua tangan sampai ke bahu atau kedua kaki sampai betis bahkan lutut.
Dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya bahwa seorang Arab pedalaman datang bertanya kepada Nabi saw tentang wudhu. Nabi saw menunjukkan wudhu tiga kali-tiga kali, kemudian bersabda,

“Begitulah wudhu, barangsiapa menambah dari itu maka dia telah berbuat buruk dan melampui batas.”

Hadits ini menetapkan bahwa membasuh anggota wudhu lebih dari tiga adalah buruk dan melampui batas. Begitu pula membasuh melebihi batasan yang telah ditentukan seperti membasuh tangan sampai bahu bahkan mungkin sampai pundak. Firman Allah,

“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim.”(Al-Baqarah: 229).

5. Tidak menyampaikan air ke siku atau tumit.
Siku dan tumit termasuk anggota wudhu. Jadi ketika air tidak menjangkau keduanya berarti wudhu tidak sempurna karena ada anggota wudhu yang tertinggal. Firman Allah,

“Dan tanganmu sampai dengan siku.” (Al-Maidah: 6). Sampai di sini berarti bersama, jadi siku wajib dibasuh.

Jabir berkata, “Apabila Nabi saw berwudhu beliau melewatkan air ke kedua sikunya.” (HR. Al-Baihaqi dan ad-Daraquthni).

Demikianlah pula dengan tumit. Mungkin karena terburu-buru orang yang berwudhu melupakannya padahal ia termasuk kaki yang wajib dibasuh. Dari Ibnu Amru berkata, “Dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan beliau berjalan di belakang kami. Ketika kami mendapatkan shalat kami terburu-buru, kami berwudhu dan mengusap kaki-kaki kami, maka Nabi saw memanggil dengan suara keras dua atau tiga kali.


وَيْلٌ للأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ .

"Celaka bagi tumit-tumit itu, ia akan dijilat api neraka.” (HR. Al-Bukhari).

6. Menganggap mengusap leher dianjurkan, padahal sebenarnya tidak demikian, ia tidak dianjurkan dan tidak termasuk ibadah wudhu. Orang yang menganggap mengusap leher dianjurkan berdalil kepada hadits,


مَسْحُ الرَقَبَة أَمَانٌ مِنَ الغِلّ .

“Mengusap leher adalah keamanan dari kedengkian”. Imam an-Nawawi di al-Majmu’ berkata, “Hadits ini maudhu’,dalam hal ini tidak ada hadits yang shahih, oleh karena itu asy-Syafi'i tidak menyebutkannya tidak pula kawan-kawan kami yang mendahului kami”.
Dalam fatwa Lajnah Daimah no. 9233 dikatakan, “Tidak ada dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw bahwa mengusap leher termasuk snnah-sunnah wudhu. Jadi mengusapnya tidak disyariatkan.”

7. Doa pada saat membasuh anggota wudhu.
Imam an-Nawawi berkata, “Doa-doa ini –yakni doa-doa pada saat membasuh anggota wudhu- tidak memiliki dasar.”
Dalam fatwa Lajnah Daimah no. 2588 dikatakan, “Tidak ada doa dari Nabi saw pada saat membasuh dan mengusap anggota wudhu dan doa yang disebutkan dalam hal ini adalah bikinan orang tidak berdasar, yang dikatahui secara syar'i adalah basmalah di awal wudhu, mengucap dua kalimat syahadat di akhir wudhu ditambah dengan,


اللَهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ المُتَطَهِّرِيْنَ .

“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci.”

8. Menganggap berbicara pada saat wudhu tidak boleh atau makruh.
Tidak ada hadits yang melarang, dan wudhu bukanlah shalat yang dilarang berbicara di dalamnya dan tidak bisa dikiyaskan kepadanya, menganggap sesuatu tidak boleh atau makruh berarti menetapkan hukum, ia harus berdasarkan kepada dalil.

9. Menganggap berwudhu di kamar mandu dengan WC makruh. Keterangan sama dengan sebelumnya.

(Rujukan: Al-Majmu’ Imam an-Nawawi, Kifayatul Akhyar Abu Bakar al-Khusaini, Zadul Maad Ibnul Qayyim, Fatawa Lajnah Daimah).