Indonesia on Facebook:
FaceBook on


Shubuh 04:13
Terbit Fajar 05:25
Dzuhur 11:37
Ashar 14:58
Maghrib 17:49
Isya 18:57
Untuk Jakarta & sekitarnya

Jadwal Sholat

Joint FaceBook


Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, terangkan kepadaku, apa yang paling berat dan apa yang paling ringan dalam beragama Islam?"

Nabi bersabda, "Yang paling ringan dalam beragama Islam ialah membaca syahadat atau kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasulullah."

"Sedang yang paling berat adalah hidup jujur (dapat dipercaya). Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur." (HR Ahmad Bazzar).

Kalau seseorang itu beriman, mestinya ia yang jujur. Kalau tidak jujur, berarti tidak beriman. Kalau orang rajin shalat, mestinya juga jujur. Kalau tidak jujur, berarti sia-sialah shalatnya. Kalau orang sudah berzakat, mestinya ia juga jujur. Kalau tidak jujur, berarti zakatnya tidak memberi dampak positif bagi dirinya.

Anas RA berkata, "Dalam hampir setiap khutbahnya, Nabi SAW selalu berpesan tentang kejujuran. Beliau bersabda, 'Tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Tidak ada agama bagi orang yang tidak konsisten memenuhi janji'."

HR Ahmad Bazzar Thobaroni menyebutkan sahabat Abu Hurairah RA berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Ciri orang munafik itu ada tiga, yaitu bicara dusta, berjanji palsu, dan ia berkhianat jika mendapat amanat (tidak jujur)'." (HR Bukhari).

Abdullah bin Utsman berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Ada empat sikap yang kalau ada pada diri seseorang maka yang bersangkutan adalah munafik tulen, yaitu kalau dapat amanat, ia berkhianat (tidak jujur); kalau berkata, selalu bohong; kalau berjanji, janjinya palsu; kalau berbisnis, licik'." (HR Bukhari Muslim).

Orang jujur itu disayangi Allah. Dan, orang yang tidak jujur dimurkai Allah SWT. Kejujuran menjadi salah satu sifat utama para Nabi, salah satu akhlak penting orang-orang yang saleh.

Kejujuran adalah kunci keberkahan. Kalau kejujuran sudah hilang di tengah-tengah masyarakat, keberkahannya pun akan hilang pula. Dan, apabila keberkahan sudah hilang, kehidupan menjadi kering, hampa tanpa makna.

Kehidupan diwarnai dengan kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, dan kekecewaan karena sulit mencari manusia yang jujur.

SUDAHKAH KITA MENJADI MUSLIM YANG KAFFAH ??

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semuanya kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya dia itu musuh yang nyata bagimu.”
(Qs. al-Baqarah 2:208)

Ayat diatas merupakan seruan, perintah dan juga peringatan Allah yang ditujukan khusus kepada orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan satu-satunya dan juga mengakui Muhammad selaku nabi-Nya agar masuk kedalam
agama Islam secara kaffah dan agar mau melakukan intropeksi diri, sudahkah kita benar-benar beriman didalam Islam secara kaffah ? Allah memerintahkan kepada kita agar melakukan penyerahan diri secara sesungguhnya, lahir dan batin tanpa syarat hanya kepada- Nya tanpa diembel-embeli hal- hal yang bisa menyebabkan ketergelinciran kedalam kemusryikan.

Bagaimanakah jalan untuk mencapai Islam Kaffah itu sesungguhnya ?
al-Qur’an memberikan jawaban kepada kita : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling darinya, padahal kamu mengerti.”
(Qs. al-Anfaal 8:20)

Jadi Allah telah menyediakan sarana kepada kita untuk mencapai Islam yang kaffah adalah melalui ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya serta tidak berpaling dari garis yang sudah ditetapkan. Taat kepada Allah dan Rasul ini memiliki aspek yang sangat luas, akan tetapi bila kita mengkaji al-Qur’an secara lebih mendalam lagi, kita akan mendapati satu intisari yang paling penting dari ketaatan terhadap Allah dan para utusan-Nya, yaitu melakukan Tauhid secara benar.

Tauhid adalah pengesaan kepada Allah.
Bahwa kita mengakui Allah sebagai Tuhan yang Maha Pencipta yang tidak memiliki serikat ataupun sekutu didalam zat dan sifat-Nya sebagai satu-satunya tempat kita melakukan pengabdian, penyerahan diri serta ketundukan secara lahir dan batin. Seringkali manusia lalai akan hal ini, mereka lebih banyak berlaku sombong, berpikiran picik laksana Iblis, hanya menuntut haknya namun melupakan kewajibannya. Tidak ubahnya dengan orang kaya yang ingin rumahnya aman akan tetapi tidak pernah mau membayar uang untuk petugas keamanan.

Banyak manusia yang sudah melebihi Iblis.
Iblis tidak pernah menyekutukan Allah, dia hanya berlaku sombong dengan ketidak patuhannya untuk menghormati Adam selaku makhluk yang dijadikan dari dzat yang dianggapnya lebih rendah dari dzat yang merupakan sumber penciptaan dirinya. Manusia, telah berani membuat Tuhan-tuhan lain sebagai tandingan Allah yang mereka sembah dan beberapa diantaranya mereka jadikan sebagai mediator untuk sampai kepada Allah. Ini adalah satu kesyirikan yang besar yang telah dilakukan terhadap Allah.

“Mereka menjadikan orang- orang alimnya dan pendeta- pendeta mereka sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah, juga terhadap al-Masih putera Maryam; padahal mereka tidak diperintahkan melainkan agar menyembah Tuhan Yang Satu; yang tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs. al-Bara’ah 9:31)

“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa’atan, namun mereka berkata: “Mereka itu penolong-penolong kami pada
sisi Allah !”. Katakanlah:”Apakah kamu mau menjelaskan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit-langit dan dibumi ?” ; Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs. Yunus 10:18)

Penyakit syirik ini dapat mengenai dan menyertai siapa saja, tidak terkecuali didalam orang-orang Islam yang mengaku bertauhid. Untuk itulah Allah memberikan perintah internal kepada umat Muhammad ini agar sebelum mereka melakukan Islamisasi kepada orang lain, dia harus terlebih dahulu mengIslamkan
dirinya secara keseluruhan alias Kaffah dengan jalan mentaati apa-apa yang sudah digariskan dan dicontohkan oleh Rasul Muhammad Saw sang Paraclete yang agung, Kalky Authar yang dijanjikan. Bagaimana orang Islam dapat melakukan satu kesyirikan kepada Allah, yaitu satu perbuatan yang mustahil terjadi sebab dia senantiasa mentauhidkan Allah ?

Sejarah mencatatkan kepada kita, berapa banyak orang- orang Muslim yang melakukan pemujaan dan pengkeramatan terhadap sesuatu hal yang sama sekali tidak ada dasar dan petunjuk yang diberikan oleh Nabi. Dimulai dari pemberian sesajen
kepada lautan, pemandian keris, peramalan nasib, pemakaian jimat, pengagungan kuburan, pengkeramatan terhadap seseorang dan seterusnya dan selanjutnya. Inilah satu bentuk kesyirikan terselubung yang terjadi didalam diri dan tubuh kaum Muslimin kebanyakan. Mereka lebih takut kepada tokoh Roro Kidul ketimbang kepada Allah, mereka lebih hormat kepada kyai ketimbang kepada Nabi. Mereka lebih menyukai membaca serta mempercayai isi kitab-kitab primbon dan kitab-kitab para ulama atau imam Mazhab tertentu ketimbang membaca dan mempercayai kitab Allah, al- Qur’anul Karim.

Adakah orang-orang yang begini ini disebut sebagai Islam yang kaffah ?
Sudah benarkah cara mereka beriman kepada Allah ?

Saya yakin, kita semua membaca al-Fatihah didalam Sholat, dan kita semua membaca “Iyyaka na’budu waiyya kanasta’in” yang artinya “Hanya kepada Engkaulah (ya Allah) kami mengabdi dan hanya kepada Engkaulah (ya Allah) kami memohon pertolongan”. Ayat ini berindikasikan penghambaan kita kepada Allah dan tidak memberikan sekutu dalam bentuk apapun sebagaimana juga isi dari surah al-Ikhlash : “Katakan: Dialah Allâh yang Esa. Allâh tempat bergantung. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada bagi-Nya kesetaraan dengan apapun.”
(Qs. al-Ikhlash 112:1-4)

Hanya sayangnya, manusia terlalu banyak yang merasa angkuh, pongah dan sombong yang hanyalah merupakan satu penutupan dari sifat kebodohan mereka semata sehingga menimbulkan kezaliman-kezaliman, baik terhadap diri sendiri dan juga berakibat kepada orang lain bahkan hingga kepada lingkungan. Untuk mendapatkan kekayaan, kedudukan maupun kesaktian, tidak jarang seorang Muslim pergi kedukun atau paranormal, memakai jimat, mengadakan satu upacara ditempat-tempat tertentu pada malam-malam tertentu dan di-ikuti pula dengan segala macam puasa- puasa tertentu pula yang tidak memiliki tuntunan dari Allah dan Rasul-Nya. Apakah mereka-mereka ini masih bisa disebut sebagai seorang Islam yang Kaffah ?
Dengan tindakan mereka seperti ini, secara tidak langsung mereka sudah meniadakan kekuasaan Allah, mereka menjadikan semuanya itu selaku Tuhan- tuhan yang berkuasa untuk mengabulkan keinginan mereka.

“Dan sebagian manusia, ada orang-orang yang menyembah tandingan- tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Tetapi orang- orang yang beriman adalah amat sangat cintanya kepada Allah.”
(Qs. Al-Baqarah 2:165)

Kepada orang-orang seperti ini, apabila diberikan peringatan dan nasehat kepada jalan yang lurus, mereka akan berubah menjadi
seorang pembantah yang paling keras.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam al-Qur’an ini bermacam-macam
perumpamaan. Tetapi manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.”
(Qs. al-Kahf 18:54)

“Tidakkah engkau pikirkan orang-orang yang membantah tentang kekuasaan-kekuasaan Allah ? Bagaimana mereka bisa dipalingkan ?”
(Qs. al-Mu’min 40:69)

Orang-orang sekarang telah banyak yang salah pasang ayat, mereka katakan bahwa apa yang mereka lakukan itu bukanlah suatu kesyirikan melainkan satu usaha atau cara yang mesti ditempuh, sebab tanpa usaha Tuhan tidak
akan membantu. Memang benar sekali, tanpa ada tindakan aktif dari manusia, maka tidak akan ada pula respon reaktif yang timbul sebagai satu bagian dari hukum alam sebab- akibat. Akan tetapi, mestikah kita mengaburkan akidah dengan dalil usaha ? Anda ingin kaya maka bekerja keras dan berhematlah semampu anda, anda ingin mendapatkan penjagaan diri maka masukilah perguruan- perguruan beladiri entah silat, karate, kempo, tenaga dalam dan sebagainya.

Anda ingin pintar maka belajarlah yang rajin begitu seterusnya yang pada puncak usaha itu haruslah dibarengi dengan doa kepada Allah selaku penyerahan diri kepada
sang Pencipta atas segala ketentuan-Nya, baik itu untuk ketentuan yang bagus maupun ketentuan yang tidak bagus.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(Qs. al-Baqarah 2:216)

“Yang demikian itu adalah nasehat yang diberikan terhadap orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, karena barang siapa berbakti kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan bagi mereka satu pemecahan; dan Allah akan mengaruniakan kepadanya dari jalan yang tidak ia sangka-sangka; sebab barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan menjadi pencukupnya. Sesungguhnya Allah itu pelulus urusan-Nya, sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap sesuatu.”
(Qs. at-Thalaq 65:2-3)

Bukankah hampir semua dari kita senantiasa hapal dan membaca ayat dibawah ini dalam doa iftitahnya ?

“Sesungguhnya Sholatku, Ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan sekalian makhluk, tiada serikat bagi-Nya, karena begitulah aku diperintahkan.”
(Qs. al-An’aam 6:162-163)

Anda membutuhkan perlindungan dari segala macam ilmu-ilmu jahat, membutuhkan perlindungan dari orang-orang yang bermaksud mengadakan rencana yang jahat dan keji, maka berimanlah anda secara sungguh-sungguh kepada Allah dan Rasul-Nya, InsyaAllah, apabila anda benar-benar Kaffah didalam Islam, Allah akan menepati janji-Nya untuk memberikan Rahmat-Nya kepada kita.

“Dan ta’atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
(Qs. Ali Imran 3:132)

Rahmat Allah itu tidak terbatas, Rahmat bisa merupakan satu perlindungan,
satu pengampunan, Kasih sayang dan juga bisa berupa keridhoan yang telah diberikan-Nya kepada kita. Apakah anda tidak senang apabila Tuhan meridhoi anda ?
Seorang anak saja, apabila dia telah mendapatkan restu dan ridho dari kedua orangtuanya,
anak tersebut akan memiliki ketenangan dan penuh suka cita didalam melangkah, apakah lagi ini yang didapatkan adalah keridhoan dari Ilahi, Tuhan yang menciptakan seluruh makhluk, yang berkuasa atas segala sesuatu ? Jika Allah ridho kepada kita, maka percayalah Allah akan membatalkan dan mengalahkan musuh-musuh kita. Maka dari itu berkepribadian Kaffah-lah didalam Islam, berimanlah secara tulus dan penuh kesucian akidah. Dalam kajian lintas kitab, kita akan mendapati fatwa dari ‘Isa al-Masih kepada para sahabatnya mengenai kekuatan Iman :

Terjemahan Resmi: Baru: Matius: 17
17:19 Kemudian murid-murid Yesus datang dan ketika mereka sendirian dengan dia, bertanyalah mereka: “Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itu?” 17:20 Ia berkata kepada mereka: “Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, –maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.

al-Qur’an pun memberikan gambaran : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Qs. 2 al- Baqarah: 186)

Kita lihat, Allah akan mendengar doa kita, Dia akan memberikan Rahmat-Nya kepada kita dengan syarat bahwa terlebih dahulu kita harus mendengarkan dan percaya kepada-Nya, mendengar dalam artian mentaati seluruh perintah yang telah diberikan oleh Allah melalui para Nabi dan Rasul-Nya, khususnya kepada Rasul Muhammad Saw selaku Nabi terakhir yang universal. Tidak perlu anda mendatangi tempat-tempat keramat untuk melakukan tapa- semedi, berpuasa sekian hari atau sekian malam lamanya dengan berpantang makan ini dan makan itu atau juga menyimpan, menggantung jimat sebagai penolak bala, pemanis muka, atau sebagai aji wibawa.

Ambillah al-Qur’an, bacalah dan pelajarilah, amalkan isinya
… maka dia akan menjadi satu jimat yang sangat besar sekali yang mampu membawa anda tidak hanya lepas dari derita dunia yang bersifat temporary, namun juga derita akhirat yang bersifat long and abide. Yakinlah, bahwa sekali anda mengucapkan kalimah “Laa ilaaha illallaah” (Tiada Tuhan Selain Allah), maka patrikan didalam hati dan jiwa anda, bahwa jangankan ilmu-ilmu jahat, guna-guna, santet, Jin, Iblis apalagi manusia dengan segenap kemampuannya, Tuhan-pun tidak ada.

Kenapa demikian ?
Sebab dunia ini telah dibuat terlalu banyak memiliki Tuhan-tuhan, semua berhala- berhala yang disembah oleh manusia dengan beragam caranya itu tetap dipanggil Tuhan oleh mereka, entah itu Tuhan Trimurti, Tuhan Tritunggal, Tuhan anak, Tuhan Bapa, Tuhan Budha dan seterusnya. Manusiapun sudah menjadikan
harta, istri dan anak-anak sebagai Tuhan, menjadikan para ulama sebagai Tuhan, menjadikan perawi Hadis sebagai Tuhan, menjadikan keluarga Nabi sebagai Tuhan dan seterusnya. Karena itu Tauhid yang murni adalah Tauhid yang benar- benar meniadakan, menafikan segala macam jenis bentuk ketuhanan yang ada, untuk kemudian disusuli dengan keberimanan, di-ikuti dengan keyakinan, mengisi kekosongan tadi dengan satu keberadaan, bahwa yang ada dan kita akui hanyalah Tuhan yang satu, tanpa berserikat dan esa dalam berbagai penafsiran.

Itulah intisari dari Iman didalam Islam, intisari seluruh ajaran dan fatwa para Nabi terdahulu, dimulai dari Nuh, Ibrahim terus kepada Ismail, Ishak, Ya’kub, Musa hingga kepada ‘Isa al-Masih dan berakhir pada Muhammad Saw. Itulah senjata mereka, itulah jimat yang mereka pergunakan didalam menghadapi segala jenis kebatilan, segala macam kedurjanaan yang tidak hanya datang dari manusia namun juga datang dari syaithan yang terkutuk.

Dalam salah satu Hadits Qudsi- Nya, Allah berfirman :
“Kalimat Laa ilaaha illallaah adalah benteng pertahanan- Ku; dan barangsiapa yang memasuki benteng-Ku, maka ia aman dari siksaan-Ku.”
(Riwayat Abu Na’im, Ibnu Hajar dan Ibnu Asakir dari Ali bin Abu Thalib r.a.) Nabi Muhammad Saw juga bersabda :
“Aku sungguh mengetahui akan adanya satu kalimat yang tidak seorangpun hamba
bilamana mengucapkannya dengan tulus keluar dari lubuk
hatinya, lalu ia meninggal, akan haram baginya api neraka. Ucapan itu adalah : Laa ilaaha illallaah.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Untuk itu, marilah sama-sama kita memulai hidup Islam yang kaffah sebagaimana yang sudah diajarkan oleh para Nabi dan Rasul, sekali kita bersyahadat didalam Tauhid, maka apapun yang terjadi sampai maut menjemput akan tetap Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang tiada memiliki anak dan sekutu-sekutu didalam zat maupun sifat-Nya. Cobalah anda ikrarkan : Apapun yang terjadi sampai saya mati akan tetap berpegang kepada Laa ilaaha illallaah. Segera kita tanggalkan segala bentuk kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau khurafat, kita ikuti puasa yang diajarkan oleh Islam, kita contoh prilaku Nabi dalam keseharian, kita turunkan berbagai rajah dan tulisan- tulisan maupun bungkusan- bungkusan hitam yang kita anggap sebagai penolak bala atau juga pemanis diri yang mungkin kita dapatkan dari para dukun, paranormal atau malah juga kyai.

Nabi Muhammad Saw bersabda :
“Barangsiapa
menggantungkan jimat penangkal pada tubuhnya, maka Allah tidak akan menyempurnakan
kehendaknya.”
(Hadist Riwayat Abu Daud dari Uqbah bin Amir) “Ibnu Mas’ud berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, mantera-mantera, tangkal dan guna-guna adalah syirik.”
(Hadist Riwayat Ahmad dan Abu Daud ) “Sa’id bin Jubir berkata: orang yang memotong atau memutuskan tangkal (jimat) dari manusia, adalah pahalanya bagaikan memerdekakan seorang budak.”
(Diriwayatkan oleh Waki’)

Percayalah, Allah adalah penolong kita. “Sesuatu bahaya tidak mengenai melainkan dengan idzin Allah.”
(Qs. at-Taghabun 64:11) “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah ni’mat Allah kepadamu tatkala satu kaum hendak mengulurkan tangannya untuk mengganggu, lalu Allah menahan tangan mereka daripada (sampai) kepada kamu; dan berbaktilah kepada
Allah; hanya kepada Allah sajalah hendaknya Mu’minin berserah diri.”
(Qs. al-Maaidah 5:11)

Apabila setelah kita melepaskan seluruh kebiasaan buruk tersebut kita mendapatkan musibah, bukan berarti Allah berlepas tangan pada diri kita dan kitapun bertambah mendewakan benda-benda, ilmu-ilmu yang pernah kita miliki sebelumnya. Akan tetapi Allah benar-benar
ingin membersihkan kita dari segala macam kemunafikan, menyucikan akidah kita, hati dan pikiran kita sehingga benar-benar berserah diri hanya kepada-Nya semata.

“Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka akan dibiarkan berkata: “Kami telah beriman”, padahal mereka belum diuji lagi ?” (Qs. al-Ankabut 29:2) “Dan sebagian dari manusia ada yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, tetapi manakala ia diganggu dijalan Allah, maka ia menjadikan percobaan manusia itu seperti adzab dari Allah; dan jika datang pertolongan dari Tuhan-mu, mereka berkata: “Sungguh kami telah berada bersamamu.”; Padahal bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada-dada makhluk ?”
(Qs. al-Ankabut 29:10) “Dan sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang
beriman dan mengetahui orang-orang yang munafik.” (Qs. al-Ankabut 29:11) Nabi juga bersabda :
“Bilamana Allah senang kepada seseorang, senantiasa menimpakan cobaan baginya supaya didengar keluh kesahnya.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Bagaimana bila sebagai satu konsekwensi dari usaha kembali kepada jalan Allah tersebut kita gugur ? Jangan khawatir, Allah telah berjanji bagi orang-orang yang sudah bertekad untuk kembali pada kebenaran : “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.”
(Qs.at-Taubah 9:20) “Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi- Nya pahala yang baik”.
(Qs. ali Imran 3:195) “Karena itu, hendaklah orang- orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya
pahala yang besar.”
(Qs. an-Nisa’ 4:74)

Kembali kejalan Allah adalah satu hijrah yang sangat berat, godaan dan gangguan pasti datang menerpa kita dan disanalah kita dipesankan oleh Allah untuk melakukan jihad, melakukan satu perjuangan, melibatkan diri dalam konflik peperangan baik dengan harta maupun dengan jiwa (tentunya ini tidak berlaku bagi mereka yang cuma melakukan teror dengan membunuh diri). Dengan harta mungkin kita harus siap apabila mendadak jatuh miskin atau juga melakukan kedermawanan dengan menyokong seluruh aktifitas kegiatan umat Islam demi tegaknya panji-panji Allah; berjihad dengan jiwa artinya kita harus mempersiapkan mental dan phisik dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi akibat ketidak senangan sekelompok orang atau makhluk dengan hijrah yang telah kita lakukan ini. Apakah anda akan heran apabila pada waktu anda masih memegang jimat anda merupakan orang yang kebal namun setelah jimat anda tanggalkan anda mendadak bisa tergores oleh satu benturan kecil ditempat tidur ? Bagaimana anda memandang keperkasaan seorang Nabi yang agung yang bahkan dalam perperanganpun bisa terluka dan juga mengalami sakit sebagaimana manusia normal ? Percayalah, berilmu tidaknya anda, berpusaka atau tidak, bertapa maupun tidaknya anda bukan satu hal yang serius bagi Allah apabila Dia sudah menentukan kehendak-
Nya kepada kita. “Berupa apa saja rahmat yang Allah anugerahkan kepada manusia, maka tidak ada satupun yang bisa menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Gagah, yang Bijaksana.”
(Qs. Fathir 35:2)

Apabila memang sudah waktunya bagi kita untuk mendapatkan musibah (baik itu berupa maut dan lain sebagainya) maka dia tetap datang tanpa bisa kita mundurkan atau juga kita majukan, tidak perduli anda punya ilmu, punya jimat atau seberapa tinggi kedudukan sosial anda. “Bagi tiap-tiap umat ada batas waktunya; maka apabila telah
datang waktunya maka mereka tidak dapat meminta untuk diundurkan barang sesaatpun dan tidak dapat meminta agar dimajukan.”
(Qs. al-A’raf 7:34) “Masing-masing Kami tolong mereka ini dan mereka itu, sebab tidaklah pemberian Tuhanmu itu terhalang.”
(Qs. al-Israa 17:20) Demikianlah, semoga kita semua bisa mendapatkan hikmah dari tulisan ini.

Wassalam.

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT ( Dzikir Ba'da Salam)

Dzikir Ba'da Salam


Dari Tsauban berkata, “Apabila Rasulullah saw selesai shalat beliau beristighfar tiga kali dan mengucapkan, ‘Allahumma Antas-Salam wa minkas-salam Tabarakta ya Dzal Jalali wal Ikram.” Al-Auza’i, seorang tabiin sekaligus salah seorang rawi hadits ini ditanya, “Bagaimana istighfar?” Dia menjawab, “Astaghfirullah. Astaghfirullah.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Dzikir ba’da salam dengan suara pelan

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ III/487 berkata, Imam asy-Syafi'i berkata dalam al-Um, “Aku memilih untuk imam dan makmum agar keduanya berdzikir kepada Allah Ta'ala ba’da salam dari shalat dan keduanya memelankan dzikir, kecuali bagi imam dengan maksud mengajarkan, maka dia mengeraskannya sampai orang-orang belajar dan setelah itu dia memelankan, karena Allah Ta'ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya.” (Al-Isra`: 110). Yang dimaksud dengan “Shalatmu.” adalah doamu, “Jangan mengeraskan.” Yakni meninggikan. “Jangan pula merendahkan.” sehingga dirimu sendiri tidak mendengarnya.”

Penafsiran “Shalatmu.” dengan doamu berdasarkan ucapan Aisyah yang berkata tentang ayat tersebut, “Ia turun tentang doa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Imam an-Nawawi berkata, “Demikianlah rekan-rekan kami mengatakan bahwa dzikir dan doa setelah shalat dianjurkan untuk dipelankan kecuali bagi imam yang bermaksud mengajar, dia mengeraskan agar orang-orang belajar, jika mereka telah belajar dan mengetahui maka imam memelankan.”

Selanjutnya Imam an-Nawawi menyebutkan hadits Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata, “Kami bersama Nabi saw dalam perjalanan, jika kami naik dari suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir, kami mengangkat suara kami, maka Nabi saw bersabda, “Wahai manusia, sayangilah diri kalian, karena sesungguhnya kalian tidak memanggil dzat yang tuli dan dzat yang tidak hadir. Sesungguhnya Dia bersama kalian, Maha Mendengar lagi Mahadekat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Bagaimana dengan hadits berikut?

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah saw dengan takbir.” Dalam riwayat Muslim, “Mengangkat suara dengan dzikir setelah orang-orang salam dari shalat wajib terjadi pada zaman Rasulullah saw. Aku mengetahui selesainya shalat mereka dengan itu jika aku mendengarnya.”

Maksud hadits ini seperti yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi'i, sebagaimana yang dinukil oleh Imam an-Nawawi darinya dalam al-Majmu’, adalah bahwa hal itu dilakukan oleh Nabi saw beberapa waktu agar para sahabat belajar dari beliau. Imam asy-Syafi'i berkata, “Menurutku Nabi saw mengeraskan beberapa waktu –maksudnya dalam hadits Ibnu Abbas di atas- agar orang-orang belajar darinya, karena kebanyakan riwayat-riwayat yang kami tulis bersama ini dan lainnya tidak menyebutkan tahlil dan takbir ba’da salam, Ummu Salamah menyebutkan diamnya Nabi saw ba’da salam dan beliau tidak berdzikir dengan jahr. Menurutku beliau tidak diam (ba’da salam) kecuali untuk berdzikir dengan sir.”

Doa setelah shalat

Dari Abu Umamah bahwa Rasulullah saw ditanya, “Doa apa yang lebih didengar oleh Allah?” Beliau menjawab, “Tengah malam yang akhir dan setelah shalat fardhu.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan.”

Namun doa ini dilakukan setelah membaca wirid-wirid yang ma’tsur dari Rasulullah saw dengan suara pelan dan dilakukan secara pribadi, sebab mengeraskannya dan melakukannya secara berjamaah tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.

Imam an-Nawawi berkata, “Pengkhususan doa imam dengan dua shalat, Shubuh dan Ashar yang biasa dilakukan oleh orang-orang atau oleh kebanyakan dari mereka adalah tidak berdasar.” Wallahu a'lam.

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT (SALAM)

Imam tiga, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa salam adalah salah satu rukun shalat. Di antara dalil yang menyatakan demikian adalah sabda Nabi saw,


مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُوْرُ، وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ
“Kunci shalat adalah bersuci, tahrimnya adalah takbir dan tahlilnya adalah taslim.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Hakim).

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa salam tidak wajib, menurut Imam ini untuk mengakhiri shalat tidak harus dengan salam, akan tetapi bisa dengan salam atau selainnya seperti berdiri, berbicara, hadats atau perbuatan lainnya.

Pendapat yang shahih adalah pendapat pertama karena dalil shahih mendukungnya, sementara pendapat kedua tidak memiliki dalil yang shahih.

Apakah harus dua salam atau cukup satu?

Hadits-hadits menetapkan bahwa Nabi saw salam ke kanan dan ke kiri. Saad bin Abu Waqqash berkata, “Aku melihat Rasulullah saw salam ke kanan dan ke kiri sehingga aku melihat putih pipinya.” (HR. Muslim).

Salam dua kali diriwayatkan juga Abu Dawud dari Ibnu Mas'ud bahwa Nabi saw salam ke kanan dan ke kiri sehingga putih pipinya terlihat, ‘Assalamu alaikum wa rahmatullah. Assalamu alaikum wa rahmatullah.’ Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi tanpa, “Sehingga putih pipinya terlihat.”

Imam an-Nawawi berkata, “Salam dua kali diriwayatkan oleh beberapa sahabat, di antaranya adalah Wail bin Hujr, Ibnu Umar, Abdullah bin Zaid, Sahal bin Saad dan Watsilah bin al-Asqa’.”

Dari sini maka maka jumhur ulama termasuk Imam yang tiga berkata, salam dua kali mustahab.

Imam Malik berpendapat, mustahab satu kali. Aisyah berkata, “Nabi saw salam satu kali.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Hadits satu salam diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Anas, diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dari Sahal bin Saad dan Salamah bin al-Akwa`.

Penulis berkata, salam dua kali adalah sunnah yang sering Nabi saw lakukan. Salam satu kali kadang-kadang Nabi saw lakukan. Wallahu a'lam.

Tangan pada saat salam

Pada saat salam kedua tangan tetap pada posisinya, tidak diangkat atau dibalik sehingga telapaknya menghadap ke atas. Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Samurah berkata, “Jika kami shalat bersama Rasulullah saw, kami mengucapkan, ‘Assalamu‘alaikum wa rahmatullah. Assalamu‘alaikum wa rahmatullah.’ Dan kami memberi isyarat dengan tangan kami ke kanan dan ke kiri, maka Rasulullah saw bersabda, “Atas dasar apa kalian berisyarat dengan tangan kalian seolah-olah ia adalah ekor kuda yang binal. Salah seorang dari kalian cukup meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya dan mengucapkan salam kepada saudaranya ke kanan dan ke kiri.”

Ucapan, ”Allahumma adkhilnal jannah” ketika salam ke kanan dan ucapan, “As`aluka an-najata minan naar” ketika salam ke kiri

Ucapan ini tidak berdasar kepada sunnah Rasulullah saw dan tidak diamalkan oleh salafus shalih, jika ia merupakan kebaikan niscaya Nabi saw akan menunjukkannya kepada kita, jika ia merupakan kebaikan niscaya salafus shalih telah mendahului kita dalam mengemalkannya, oleh karena itu hendaknya ia ditinggalkan. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw.

Jabat tangan ba’da salam

Hal ini juga tidak berdasar kepada sunnah Rasulullah saw dan tidak dilakukan oleh salafus shalih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang hal ini, dia menjawab, “Jabat tangan ba’da shalat tidak disunnahkan, justru ia bid’ah.”

Al-Izz bin Abdussalam berkata, “Berjabat tangan ba’da shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi orang yang datang dan berkumpul dengan orang yang dia salami sebelum shalat.”

Jadi ba’da salam mushalli beristighfar tiga kali dan membaca wirid-wirid yang ma`tsur tanpa menjabat tangan tetangganya. Wallahu a'lam

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT ( Shalat Bagi Orang Sakit )

Shalat Bagi Orang Sakit

* Orang sakit wajib mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri, meskipun dengan membungkuk atau ber-sandar pada dinding atau tongkat.

* Apabila orang sakit tidak mampu berdiri, maka shalat dengan duduk dan diutamakan duduk bersila di tempat berdiri dan ruku’.

* Apabila tidak mampu duduk, maka shalat dengan berbaring miring dan dengan menghadap ke kiblat. Apabila tidak bisa menghadap kiblat, maka shalat dengan menghadap kemana saja. Shalatnya dinyata-kan sah dan tidak usah mengulang.

* Apabila tidak mampu shalat dengan berbaring miring, maka shalat dengan posisi terlentang dan kaki meng-hadap ke arah kiblat. Kalau tidak mampu mengha-dapkan kaki ke kiblat, maka shalat bagaimana saja (sesuai kemampuan) dan tidak harus mengulang.

* Orang yang sakit wajib ruku’ dan sujud dalam shalat. Apabila tidak mampu, maka berisyarat dengan kepala dan menjadikan sujud lebih menurun dari-pada ruku’. Apabila hanya bisa ruku’ tanpa sujud, maka harus ruku’ dan menggunakan isyarat untuk sujud. Apabila hanya bisa sujud tanpa ruku’, maka harus sujud serta menggunakan isyarat untuk ruku’.

* Apabila tidak mampu menggunakan isyarat dengan kepala dalam ruku’ dan sujud, maka isyarat dengan mata, memejam sedikit untuk ruku’ dan memejam lebih banyak untuk sujud. Adapun isyarat dengan jari sebagaimana yang dikerjakan selama ini oleh sebagian orang yang sakit, itu tidak benar. Saya tidak tahu dasar Al-Qur’an, sunnah maupun penda-pat ulama.

* Apabila tidak bisa isyarat dengan kepala atau mata, maka shalatlah dengan hati dan bagi seseorang adalah niatnya.

* Orang yang sakit wajib shalat pada waktunya serta mengerjakan seluruh kewajiban yang mampu dilaku-kannya. Kalau ada kesulitan dalam mengerjakan setiap shalat pada waktunya, maka boleh menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya, baik jama’ taqdim (memajukan Isya ke Mag-hrib), maupun jama’ ta’khir (mengundurkan Zhuhur ke Ashar dan mengundurkan Maghrib ke Isya) sesuai dengan kemampuan yang ada. Shalat Shubuh tidak boleh dijama’.

* Dalam keadaan di perjalanan (untuk berobat ke negara lain), orang yang sakit boleh mengqashar shalat yang empat rakaat, yakni mengerjakan shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’ dua rakaat-dua rakaat sampai kepulangannya, baik perjalanannya itu untuk waktu lama maupun singkat.

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT ( Kafirkah Orang yang Meninggalkan Shalat ? )

Shalat memiliki kedudukan khusus yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah yang lain, salah satunya adalah ditetapkannya kekufuran bagi orang yang meninggalkannya, meskipun hal ini perlu diperjelas akan tetapi kekhususan ini hanya ada pada shalat.

Ada beberapa keadaan bagi orang yang meninggalkan shalat

Pertama: Dia meninggalkannya karena mengingkari kewajibannya.
Kedua: Dia meninggalkannya karena menghina, melecehkan dan memperolok-oloknya.
Ketiga: Dia meninggalkannya karena menyombongkan diri.
Keempat: Dia meninggalkannya karena berpaling, tidak mengingkari dan tidak membenarkan.
Kelima: Dia meninggalkan karena malas dan menyepelekannya.

Pertama, ini merupakan kekufuran tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama, hal ini karena dia mengingkari kewajiban utama dalam agama Islam. Iman adalah lawan kufur, iman adalah pengakuan dan pembenaran, sementara lawannya yaitu pengingkaran dan pendustaan.

Kedua, ini merupakan kekufuran, karena menghina dan memperolok-olok sesuatu dalam agama lebih-lebih ibadah pokok seperti shalat adalah kekufuran. Menghina shalat berarti menghina Allah, RasulNya dan ayat-ayatNya, dan hal itu merupakan kekufuran tanpa ragu.

Firman Allah, “Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65-66).

Ketiga, ini merupakan kekufuran, karena menyombongkan diri adalah perilaku Iblis, dengannya dia menolak perintah Allah Taala agar bersujud kepada Adam, dan karenanya Allah Taala menetapkannya termasuk golongan orang-orang kafir.

Firman Allah, “Maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 34).

Ibnu Taimiyah (Majmu' al-Fatawa 20/90) menjelaskan keadaan ini secara terperinci, dia berkata, “Dia tidak mengingkari kewajibannya tetapi dia menolak melaksanakannya karena sombong atau hasad atau benci kepada Allah dan rasulNya, dia berkata, ‘Aku tahu Allah mewajibkannya atas kaum muslimin dan Rasul adalah benar dalam menyampaikan al-Qur`an’, akan tetapi dia tetap menolak menjalankannya karena sombong atau hasad kepada Rasul atau karena fanatik kepada agamanya atau karena dia membenci apa yang dibawa oleh Rasul, maka dia kafir dengan kesepakatan, karena ketika Iblis menolak sujud yang diperintahkan kepadanya, dia tidak mengingkari iman, Allah berbicara kepadanya secara langsung, akan tetapi dia menolak dan menyombongkan diri dan dia termasuk orang-orang kafirin, begitu pula Abu Thalib, dia mempercayai apa yang disampaikan oleh Rasul akan tetapi di menolak mengikuti karena fanatik kepada agamanya, takut memikul malu karena ketundukan dan dia menolak bokongnya lebih tinggi daripada kepalanya, ini adalah perkara yang harus dicermati.”

Keempat, ini adalah kekufuran karena tidak terwujudnya pengakuan dan pembenaran dalam dirinya yang merupakan titik dasar bagi iman, benar dia tidak mengingkari dan tidak mendustakan akan tetapi rukun utama iman yaitu mengakui dan membenarkan tidak ada pada dirinya, jadi tidak bisa dikatakan beriman.

Firman Allah, “Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” (Al-Ahqaf: 3).

Kelima, ini menjadi topik perbincangan dikalangan para ulama, mereka terbagi menjadi dua kelompok, ada yang mengkafirkannya, ada pula yang tidak mengkafirkannya, akan tetapi kedua kelompok sepakat, dia dibunuh.

Ibnu Qudamah (al-Mughni) berkata, “Riwayat berselisih apakah dia dibunuh karena kafir atau sebagai hukuman had? Diriwayatkan bahwa dia dibunuh karena dia kafir sama dengan murtad, maka tidak dimandikan, tidak mewarisi dan diwarisi, ia dipilih oleh Abu Ishaq bin Syaqila, Ibnu Hamid, ia adalah madzhab al-Hasan, an-Nakhai, asy-Sya’bi, Ayyub as-Sakhtiyani, al-Auzai, Ibnul Mubarak, Hammad bin Zaid, Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin al-Hasan. Riwayat kedua berkata, dia dibunuh sebagai hukuman had dengan tetap divonis muslim seperti pezina muhshan. Ini adalah pilihan Abu Abdullah Ibnu Batthah, dia mengingkari pendapat yang mengkafirkannya… ini adalah pendapat mayoritas fuqaha, pedapat Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'i.”


Dalil-dalil kelompok yang mengkafirkan, diantaranya:

Firman Allah Taala, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan Hari Pembalasan, hingga datang kepada kami kematian." (Al-Muddatstsir: 38-47).

Muhammad bin Nashr al-Marwazi (Ta’zhim Qadr ash-Shalah 2/1007) berkata, “Apakah Anda tidak melihat bahwa Dia menjelaskan bahwa penghuni Padang Mahsyar yang ke surga adalah orang-orang yang shalat, bahwa orang-orang yang berputus asa dari surga yang berhak kekal di neraka adalah orang yang tidak termasuk ahli shalat dengan berita dari Allah Taala tentang orang-orang yang dikekalkan di dalam neraka ketika mereka ditanya, ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.’ (Al-Muddatstsir: 42).

Firman Allah azj, “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (At-Taubah: 11).

Mafhum dari ayat ini bahwa jika mereka tidak mendirikan shalat berarti mereka bukan termasuk saudara orang-orang mukmin, jika persaudaraan dengan orang mukmin lenyap berarti mereka termasuk orang-orang kafir karena Allah Taala berfirman, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (Al-Hujurat: 10). Persaudaraan agama tidak lenyap dengan kemaksiyatan sebesar apapun, akan tetapi ia lenyap dengan keluar dari Islam.

Nabi saw bersabda,


إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ .

“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah).

Nabi saw meletakkan batasan antara Islam dengan kufur adalah meningalkan shalat, barangsiapa menunaikannya maka dia muslim, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir. Kufur dalam hadits ini hadir dengan ma’rifat alif dan lam, ini menunjukkan bahwa ia adalah kufur khusus yang sudah dimaklumi, yaitu kufur yang mengeluarkan dari Islam.


عن بريدة بن الحصيب رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم : اَلعَهْدُ الّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَة فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

Dari Buraidah bin al-Hushaib berkata, Rasulullah saw bersabda, “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih gharib.” An-Nasa`i dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, 1/226).

Rasulullah saw meletakkan shalat sebagai batasan yang membedakan kaum muslimin dengan orang-orang kafir selain kaum muslimin.


وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: أَوْصَانِي خَلِيْلِي أَبُو القَاسِمْ صلى الله عليه وسلم بِسَبْعٍ: لاَتُشْرِكْ بِاللهِ شَيْئًا، وَإِنْ قُطِعْتَ أَوْ حَرِّقْتَ، وَلاَتَتْرُكْ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا، فَمَنْ تَرَكَهَا عَمْدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةِ .

Dari Abu ad-Darda` rhu berkata, kekasihku Abul Qasim saw memberiku wasiat tujuh perkara, “Jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu walaupun kamu dipotong atau dibakar, jangan meninggalkan shalat wajib dengan sengaja, karena barangsiapa meninggalkannya dengan sengaja maka dia telah terbebas dari dzimmah.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Albani dengan syahid-syahidnya dalam shahih at-Targhib wa at-Tarhib 1/227).

Ibnul Qayyim berkata, “Kalau dia tetap di atas Islam niscaya dia memiliki dzimmah Islam.”


وعن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ صَلىَّ صَلاَتَنَا، وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا، وَأَكَلَ ذَبِيْحَتَنَا، فَهُوَ المُسْلِمُ، لَهُ مَالَنَا، وَعَلَيْهِ مَا عَلَيْنَا.

Dari Anas bin Malik rhu berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa shalat seperti kami shalat, menghadap kiblat kami dan memakan sembelihan kami maka dia muslim, dia mendapatkan hak sama dengan kami dan atasnya kewajiban yang sama dengan kami.” (HR. al-Bukhari)

Hadits ini merupakan dalil bahwa barangsiapa tidak shalat seperti kami dan tidak menghadap kiblat kami maka dia bukan muslim.

Ibnul Qayyim (kitab ash-Shalah) berkata tentang hadits ini, “Sisi pengambilan dalil dari hadits ini dari dua sisi, pertama: Nabi saw hanya menjadikannya muslim dengan tiga perkara ini, dia tidak menjadi muslim tanpanya. Kedua: Apabila dia shalat dengan menghadap ke Timur maka dia bukan muslim sehingga dia shalat kepada kiblat kaum muslimin, lalu bagaimanakah jika dia meninggalkan shalat sama sekali?”

(Rujukan al-Mughni Ibnu Qudamah, al-Majmu’ Imam an-Nawawi, Ta’zhim Qadr ash-Shalah al-Marwazi, ash-Shalah Ibnul Qayyim, Fatawa al-Lajnah ad-Da`iamah, disusun oleh Syaikh Ahmad ad-Duweisy).

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT ( Kafirkah Orang yang Meninggalkan Shalat Bag II? )

Kafirkah Orang yang Meninggalkan Shalat Bag II?


Dalil-dalil kelompok yang tidak mengkafirkan, di antaranya:

1. Firman Allah Taala, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.” (An-Nisa`: 48).

Orang yang meninggalkan shalat tidak berbuat syirik, jadi dia berada dalam masyi`ah Allah, masih ada peluang untuk diampuni, ini berarti dia tidak kafir.

2. Dari Ubadah bin ash-Shamit berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Shalat lima waktu yang Allah fardhukan, barangsiapa membaguskan wudhunya, tepat pada waktunya, menyempurnakan ruku’nya, sujudnya dan khusyu’nya, maka dia mendapatkan janji dari Allah untuk diampuni. Dan barangsiapa tidak melakukannya maka Allah tidak memberinya janji, jika Dia berkehendak Dia mengampuninya dan jika Dia berkehendak maka dia mengazabnya.” Dalam riwayat, “Barangsiapa menjaganya maka dia mempunyai janji di sisi Allah untuk dimasukkan ke dalam surga, dan barangsiapa tidak menjaganya… al-Hadits.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahih oleh al-Albani dalam al-Jami’ ash-Shag)

Ibnu Abdul Bar berkata tentang hadits ini, “Ini mengandung dalil bahwa orang muslim yang tidak shalat berada dalam masyi`ah Allah, jika dia mengakui, bertauhid dan beriman kepada apa yang dibawa oleh Muhammad saw meskipun tidak beramal.”

3. Dari Hudzaefah bin al-Yaman rhu secara marfu, “Islam tergerus seperti warna-warna kain tergerus sehingga tidak diketahui apa itu puasa, shalat, manasik dan sedekah, kitab Allah azj akan diangkat dalam satu malam sehingga tidak tersisa satu ayat pun darinya di muka bumi, dan tinggallah sekelompok orang, orang-orang lanjut usia laki-laki dan perempuan berkata, ‘Kami mendapatkan nenek moyang kami di atas kalimat ini la ilaha illallah, maka kami mengatakannya.”Shilah bin Zufar berkata kepada Hudzaefah, “Apa guna la ilaha illallah bagi mereka sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, puasa, manasik dan sedekah?” Hudzaefah berpaling darinya kemudian Shilah mengulangnya tiga kali dan Hudzaefah selalu berpaling darinya, pada kali ketiga Hudzaefah berkata, “Ia menyelamatkan mereka dari neraka.” Tiga kali. (HR. Ibnu Majah, al-Hakim dan dia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi, Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya kuat”, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah).

Dalam hadits ini Hudzaefah menetapkan bahwa La Ilaha Illallah menyelamatkan orangnya dari neraka meskipun dia tidak mengetahui apa itu shalat, puasa, manasik dan sedekah.

4. Dari Abdullah bin Mas’ud rhu dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Seorang hamba Allah diperintahkan untuk dicambuk seratus kali dalam kuburnya, dia terus meminta dan berdoa sehingga dikurangi menjadi satu kali, dia dicambuk satu kali maka kuburnya dipenuhi api, ketika ia naik maka dia terjaga. Dia berkata, ‘Mengapa kalian mencambukku.’ Dia menjawab, ‘Kamu shalat satu kali tanpa bersuci dan kamu mengetahui orang yang dianiaya tetapi kamu tidak menolongnya’.” (diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Musykil Atsar 4/21 dan Abu asy-Syaikh dalam at-Taubikh)

Ath-Thahawi berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa orang yang meninggalkan shalat bukan kafir karena itu, karena jika dia kafir niscaya doanya batil berdasarkan firman Allah Taala, ‘Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.’ (Al-Ghafir: 50).”

5. Dari Abu Said al-Khudri rhu berkata, Rasulullah saw bersabda, “Apabila orang-orang mukmin selamat dari neraka dan mereka aman maka demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tuntutan salah seorang dari kalian kepada rekannya dalam suatu hak yang menjadi haknya di dunia tidak lebih keras daripada tuntutan orang-orang mukmin kepada Rabb mereka dalam saudara-saudara mereka yang masuk neraka.

Mereka berkata, ‘Wahai Rabb, saudara-saudara kami, dahulu mereka shalat bersama kami, berpuasa bersama kmi, berhaji bersama kami, berjihad bersama kami lalu Engkau memasukkan mereka ke dalam neraka.’ Allah berfirman, ‘Pergilah, keluarkanlah siapa yang kalian kenal dari mereka.’ Lalu mereka mendatangi orang-orang itu, mereka mengenali orang-orang tersebut melalui wajah-wajah mereka api neraka tidak membakar wajah mereka… lalu mereka mengeluarkan orang-orang dalam jumlah besar. Mereka berkata, ‘Ya Rabb kami, kami telah mengeluarkan orang-orang yang Engkau perintahkan.’

Dia bersabda, ‘Kemudian mereka kembali lalu mereka berbicara, Allah berfirman, ‘Keluarkanlah orang yang di dalam hatinya terdapat iman seberat satu dinar.’ Maka mereka mengeluarkan banyak orang kemudian mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan seseorang yang Engkau perintahkan di dalamnya.’ Kemudian Allah berfirman, ‘Kembalilah, keluarkanlah orang-orang dengan iman seberat setengah dinar di dalam hatinya.’ Lalu mereka mengeluarkan banyak orang, kemudian mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, kami tidak membiarkan seorang pun yang Engkau perintahkan di dalamnya.’ Sehingga Allah berfirman, ‘Keluarkanlah orang yang di dalam hatinya terdapat iman seberat semut kecil.’ Lalu mereka mengeluarkan banyak orang.

Mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, kami telah mengeluarkan orang-orang yang Engkau perintahkan.’ Maka tidak tersisa di dalam neraka seorang pun yang memiliki kebaikan kemudian Allah berfirman, ‘Malaikat telah memberi syafaat, para nabi telah memberi syafaat, orang-orang mukmin telah memberi syafaat, sekarang tinggal dzat yang paling penyayang.’ Dia bersabda, ‘Lalu Allah mengambil satu genggam dari neraka –atau dia berkata, dua genggam- yang mencakup orang-orang yang tidak berbuat kebaikan untuk Allah sekalipun, mereka telah terabaikan dan menjadi arang, mereka dibawa kepada sumber air yang bernama al-hayat, mereka disiram dengannya… sampai Nabi saw bersabda, ‘Maka dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah ke dalam surga…’ al-Hadits.” (HR. Ahmad, an-Nasa`i dan Ibnu Majah, al-Albani berkata, “Sanadnya shahih di atas syarat asy-Syaikahain.”)

Syaikh Nasiruddin al-Albani berkata tentang hadits ini, “Hadits ini adalah dalil yang pasti bahwa jika orang yang meninggalkan shalat dalam keadaan sebagai muslim bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah, dia tidak kekal di dalam neraka bersama orang-orang musyrik, di dalamnya terdapat dalil yang kuat sekali bahwa dia termasuk ke dalam kehendak Allah Taala dalam firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa`: 48).

Telaah terhadap kedua pendapat.

Dari sisi dalil-dalil dan pengambilan dalil darinya maka penulis lebih cenderung kepada pendapat pertama karena dalil-dalilnya lebih kuat dan pengambilan dalilnya lebih jelas.

Disamping itu kufurnya orang yang meninggalkan shalat telah disepakati oleh para sahabat.

Dari sulaiman bin Yasar bahwa al-Makhramah mengabarkan kepadanya bahwa Umar bin al-Khattab rhu pada saat dia ditikam, dia dikunjungi oleh al-Miswar bersama Ibnu Abbas rum, ketika esok hari tiba mereka mengingatkannya, mereka berkata, ‘shalat’ Umar teringat dan berkata, “Ya tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Lalu Umar shalat sementara darah merembes dari lukanya. (Diriwayatkan dari Malik dalam al-Muwattha`, al-Ajurri dalam asy-Syariah, al-Marwazi dalam Ta'zhim Qadr ash-Shalah, al-Lalikai, dishahihkan oleh al-Albani dalam tahqiq dan takhrijnya atas Kitab al-Iman, Ibnu Abi Syaibah no. 103.

Ibnul Qayyim berkata, “Umar berkata begitu di hadapan para sahabat dan mereka tidak mengingkarinya.”

Abdullah bin Syaqiq al-Uqaili berkata, “Para sahabat Rasulullah saw tidak memandang suatu amal perbuatan yang apabila ditinggalkan menjadi kafir selain shalat.” (HR. at-Tirmidzi, diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr dalam Ta'zhim Qadr ash-Shalah, an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Sanadnya shahih.” Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib ).

Dari Abu Hurairah berkata, “Para sahabat Rasulullah saw tidak memandang suatu amal perbuatan yang apabila ditinggalkan menjadi kafir selain shalat.” (HR. al-Hakim, Adz-Dzahabi berkata, “Sanadnya layak.”)

Asy-Syaukani mengomentari atsar Abdullah bin Syaqiq, “Yang nampak dari konteks ucapan ini, bahwa para sahabat bersepakat di atasnya karena ucapannya, ‘para sahabat Rasulullah’ adalah jamak yang disandarkan, ia termasuk indikator kepada hal itu.”

Jawaban terhadap dalil-dalil pendapat yang tidak mengkafirkan.

Pertama, Nabi saw secara jelas menyatakan bahwa antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir lagi musyrik, jadi orang yang meninggalkan shalat termasuk ke dalam orang-orang yang tidak diampuni oleh Allah.

Kedua, Hadits Ubadah mengkaitkan janji surga dari Allah dengan menjaga shalat dan barangsiapa tidak menjaga maka dia berada dalam masyi`ahNya, kami katakan menjaga dan tidak menjaga tidak sama dengan meninggalkan dan tidak meninggalkan, tidak menjaga berarti dia terkadang shalat dan terkadang meninggalkan, berbeda dengan meninggalkan.

Ketiga, Hadits Hudzaefah yang isinya, “Mereka diselamatkan oleh la ilaha illallah.” Hadits ini dibawa kepada masa fatrah, di mana hadits ini berisi berita tentang peristiwa akhir zaman yaitu terhapusnya Islam dan terangkatnya al-Qur`an sehingga tidak tersisa satu ayat pun, sehingga tidak diketahui apa itu puasa, shalat, manasik, sedekah, maka mereka diampuni Allah di mana selain mereka yang hujjah tegak atasnya dan pengaruh-pengaruh risalah terlihat di masanya tidak diampuni. Ibnu Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa, 35/165, berkata, ” Di masa-masa fatrah dan di tempat-tempat fatrah seseorang diberi pahala dengan imannya yang sedikit dan orang yang mana hujjah tidak tegak atasnya diampuni sementara orang yang mana hujjah telah tegak atasnya tidak diampuni sebagaimana dalam hadits ma’ruf.” Hadir suatu masa atas manusia, di mana mereka tidak mengenal shalat, puasa, haji … dan seterusnya.”

Keempat, Adapun hadits Ibnu Mas’ud, “Seorang hamba dari hamba-hamba Allah diperintahkan agar dicambuk seratus kali dalam kuburnya… hadits. Dalam sanad hadits ini terdapat Ashim bin Bahdalah, mereka mempersoalkan hafalannya Ibnu Hajar berkata, “Rawi jujur tetapi memiliki kekeliruan-kekeliruan.” Dalam sanadnya juga terdapat Ja’far bin Sulaiman adh-Dhubai, seorang rawi jujur ahli zuhud akan tetapi dia berakidah Syi’ah. (at-Tahdzib 5/38, at-Taqrib 1/383) Di samping itu telah hadir dalam riwayat hadits ini, “Kamu shalat satu kali tanpa bersuci.” Ini menunjukkan bahwa dia tidak meninggalkan shalat, dia shalat satu kali tanpa bersuci, ada perbedaan yang jelas antara orang yang meninggalkannya sama sekali dengan orang yang meninggalkannya satu kali, yang kedua ini terkadang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, dia shalat tanpa berwudhu, maka dia berhak atas azab dan siksa, bisa jadi dia melakukannya dengan tetap mengakui dirinya berdosa maka dia tidak kafir.

Kelima, Hadits Abu Said menetapkan syafaat orang-orang yang beriman kepada saudara mereka orang-orang yang beriman, hal ini jelas karena syafaat hanya Allah izinkan untuk orang-orang yang beriman, sementara hadits Rasulullah saw telah menetapkan kekufuran orang yang meninggalkan shalat dan ini yang dipahami oleh para sahabat, jadi orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk ke dalam hadits Abu Said di atas. Wallahu a'lam.

(Rujukan al-Mughni Ibnu Qudamah, al-Majmu’ Imam an-Nawawi, Ta’zhim Qadr ash-Shalah al-Marwazi, ash-Shalah Ibnul Qayyim, Fatawa al-Lajnah ad-Da`iamah, disusun oleh Syaikh Ahmad ad-Duweisy)

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT ( Hikmah-hikmah Shalat)

Hikmah-hikmah Shalat

Allah adalah al-Hakim, pemilik hikmah, tidak ada sesuatu yang Dia syariatkan kecuali ia pasti mengandung hikmah, tidak ada sesuatu dari Allah yang sia-sia dan tidak berguna karena hal itu bertentangan dengan hikmahNya, dan kita sebagai manusia dengan keterbatasan tidak mungkin mengetahui dan mengungkap seluruh hikmah yang terkandung dalam apa yang Allah syariatkan dan tetapkan, apa yang kita ketahui dari hikmah Allah hanyalah sebagian kecil, dan yang tidak kita ketahui jauh lebih besar, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra`: 85). Sekecil apapun dari hikmah Allah dalam sesuatu yang bisa kita ketahui, hal itu sudah lebih dari cukup untuk mendorong dan memacu kita untuk melakukan sesuatu tersebut karena pengetahuan tentang kebaikan sesuatu melecut orang untuk melakukannya.

Ibadah shalat yang merupakan ibadah teragung dalam Islam termasuk ibadah yang kaya dengan kandungan hikmah kebaikan bagi orang yang melaksanakannya. Siapaun yang mengetahui dan pernah merasakannya mengakui hak itu, oleh karena itu dia tidak akan rela meninggalkannya, sebaliknya orang yang tidak pernah mengetahui akan berkata, untuk apa shalat? Dengan nada pengingkaran.

Pertama: Manusia memiliki dorongan nafsu kepada kebaikan dan keburukan, yang pertama ditumbuhkan dan yang kedua direm dan dikendalikan, dan sarana pengendali terbaik adalah ibadah shalat. Kenyataan membuktikan bahwa orang yang menegakkan shalat adalah orang yang paling minim melakukan tindak kemaksiatan dan kriminal, sebaliknya semakin jauh seseorang dari shalat, semakin terbuka peluang kemaksiatan dan kriminalnya.

Firman Allah, “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45).

Dari sini kita memahami makna dari penyandingan Allah antara menyia-nyiakan shalat dengan mengikuti syahwat yang berujung kepada kesesatan.

Firman Allah, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59).

Kedua: Seandainya seseorang telah terlanjur terjatuh kedalam kemaksiatan dan hal ini pasti terjadi karena tidak ada menusia yang ma’shum (terjaga dari dosa) selain para nabi dan rasul, maka shalat merupakan pembersih dan kaffarat terbaik untuk itu.

Rasulullah saw mengumpamakan shalat lima waktu dengan sebuah sungai yang mengalir di depan pintu rumah salah seorang dari kita, lalu dia mandi di sungai itu lima kali dalam sehari semalam, adakah kotoran ditubuhnya yang masih tersisa?

Dari Abu Hurairah berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda,


أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرَاً بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ؟ قَالُوا: لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ، قَالَ: فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الخَمْسِ يَمْحُو الله بِهِنَّ الخَطَايَا.

“Menurut kalian seandainya ada sungai di depan pintu rumah salah seorang dari kalian di mana dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali, apakah masih ada kotorannya yang tersisa sedikit pun?” Mereka menjawab,”Tidak ada kotoran yang tersisa sedikit pun.” Rasulullah saw bersabda, “Begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Mas’ud bahwa seorang laki-laki mendaratkan sebuah ciuman kepada seorang wanita, lalu dia datang kepada Nabi saw dan menyampaikan hal itu kepada beliau, maka Allah menurunkan, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114) Laki-laki itu berkata, “Ini untukku?” Nabi saw menjawab, “Untuk seluruh umatku.” (Muttafaq Alaihi).

Ketiga: Hidup manusia tidak terbebas dari ujian dan cobaan, kesulitan dan kesempitan dan dalam semua itu manusia memerlukan pegangan dan pijakan kokoh, jika tidak maka dia akan terseret dan tidak mampu mengatasinya untuk bisa keluar darinya dengan selamat seperti yang diharapkan, pijakan dan pegangan kokoh terbaik adalah shalat, dengannya seseorang menjadi kuat ibarat batu karang yang tidak bergeming di hantam ombak bertubu-tubi.

Firman Allah, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'.” (Al-Baqarah: 45).

Ibnu Katsir berkata, “Adapun firman Allah, ‘Dan shalat’, maka shalat termasuk penolong terbesar dalam keteguhan dalam suatu perkara.”

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153).

Ibnu Katsir berkata, “Allah Taala menjelaskan bahwa sarana terbaik sebagai penolong dalam memikul musibah adalah kesabaran dan shalat.”

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Hudzaefah bahwa jika Rasulullah saw tertimpa suatu perkara yang berat maka beliau melakukan shalat. (HR. Abu Dawud nomor 1319).

Keempat: Hidup memiliki dua sisi, nikmat atau musibah, kebahagiaan atau kesedihan. Dua sisi yang menuntut sikap berbeda, syukur atau sabar. Akan tetapi persoalannya tidak mudah, karena manusia memiliki kecenderungan kufur pada saat meraih nikmat dan berkeluh kesah pada saat meraih musibah, dan inilah yang terjadi pada manusia secara umum, kecuali orang-orang yang shalat. Orang yang shalat akan mampu menyeimbangkan sikap pada kedua keadaan hidup tersebut.

Firman Allah, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (Al-Ma’arij: 19-23).

Ibnu Katsir berkata, “Kemudian Allah berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang shalat’ yakni manusia dari sisi bahwa dia memiliki sifat-sifat tercela kecuali orang yang dijaga, diberi taufik dan ditunjukkan oleh Allah kepada kebaikan yang dimudahkan sebab-sebabnya olehNya dan mereka adalah orang-orang shalat.”

Sebagian dari hikmah yang penulis sebutkan di atas cukup untuk membuktikan bahwa shalat adalah ibadah mulia lagi agung di mana kita membutuhkannya dan bukan ia yang membutuhkan kita, dari sini kita mendapatkan ayat-ayat al-Qur`an menetapkan bahwa perkara shalat ini merupakan salah satu wasiat Allah kepada nabi-nabi dan wasiat nabi-nabi kepada umatnya.

Allah berfirman tentang Isa putra Maryam, “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan dia mewasiatkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (Maryam: 31).

Allah berfirman tentang Musa, “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14).

Allah berfirman tentang Ismail, “Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Maryam: 55).

Allah berfirman tentang Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (Ibrahim: 40).

Allah berfirman tentang Nabi Muhammad, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132).
Wallahu a'lam.

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT ( Syarat Sah Shalat II )

Syarat Sah Shalat 2


Ketiga: Kiblat

Kiblat sebagai syarat sah shalat tidak diperdebatkan oleh para ulama karena dalil dari al-Qur`an dan sunnah yang menganggapnya sebagai syarat sah shalat jelas dan shahih, tidak sah shalat seseorang yang dengan sengaja mengambil arah selain arah kiblat atau membelakangi kiblat.

Firman Allah, “Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai, palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Al-Baqarah: 144).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari al-Barra` bin Azib berkata, “Rasulullah saw shalat ke Baitul Maqdis selama enam atau tujuh belas bulan, beliau menyukai dihadapkan ke Ka’bah, maka Allah menurunkan, ‘Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit.’ Lalu beliau menghadap ke Ka’bah.”

Gugurnya kewajiban menghadap kiblat

A. Shalat sunnah musafir di atas kendaraan. Shalat ini boleh dilakukan oleh musafir dengan menghadap ke arah berjalannya kendaraan yang dikendarainya, ke arah kiblat atau tidak. Keringanan ini hanya untuk shalat sunnah bagi musafir saja. Adapun shalat wajib maka yang bersangkutan harus turun dari kendaraannya dan menghadap ke kiblat.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah saw shalat di atas kendaraannya ke arah manapun ia berjalan dan ketika beliau hendak shalat fardhu maka beliau turun dan menghadap kiblat.”

B. Dalam keadaan tidak mampu menghadap kiblat karena takut atau lainnya, maka shalat dilakukan dengan menghadap atau tanpa menghadap kiblat baik shalat fardhu maupun shalat sunnah.

Firman Allah, “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al-Baqarah: 239).

Yakni dengan menghadap kiblat dan tidak menghadap kiblat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Dan jika takutnya telah hilang maka shalat yang dilakukan dengan tidak menghadap kiblat tersebut tidak wajib diulang karena ia telah dilakukan sesuai dengan perintah Allah, jadi ia sah.

C. Dalam keadaan tidak mengetahui arah kiblat, dan yang bersangkutan berusaha untuk mengetahuinya lalu dia shalat ke arah yang menurutnya adalah arah kiblat, tetapi setelah shalat dia mengetahui bahwa arah tersebut bukanlah arah kiblat, dalam kondisi ini shalat tersebut sah, yang bersangkutan tidak wajib mengulangnya, karena dia telah melakukan sebatas apa yang dia mampu maka setelah itu bukan lagi menjadi kewajibannya.

Dalam kelanjutan hadits al-Barra` diatas dia berkata, “Ada seorang laki-laki shalat bersama Nabi saw, setelah shalat dia pulang, dia melewati suatu kaum dari Anshar yang sedang shalat Asar dengan menghadap ke Baitul Maqdis.” Dia berkata, “Maka laki-laki ini bersaksi bahwa dia telah shalat bersama Rasulullah saw dan beliau menghadap ke Ka’bah, maka orang-orang Anshar tersebut berputar sehinga mereka menghadap Ka’bah.”

Kita membaca dalam hadits ini bahwa orang-orang Anshar tersebut tidak mengulang shalat mereka dari awal, akan tetapi mereka hanya berbelok ke Arah kiblat di tengah shalat dan shalat mereka, sebelum mereka berbelok, menghadap kiblat yang salah karena mereka tidak mengetahuinya, meskipun begitu mereka tetap meneruskan shalat. Ini menunjukkan bahwa shalat yang dilakukan dengan menghadap ke arah selain arah kiblat karena tidak tahu atau karena salah tidak perlu diulang.

Keempat: Menutup aurat

Menutup aurat termasuk syarat sah shalat, tidak sah shalat dengan aurat terbuka karena tidak terpenuhinya salah satu syaratnya.

Firman Allah, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raf: 31).

Memakai pakaian berarti menutup aurat. Ibnu Sa’di berkata, “Yakni tutuplah auratmu pada saat shalat seluruhnya, yang fardhu dan yang sunnah, karena menutupnya adalah perhiasan bagi badan sebagaimana membukanya membuat badan nampak buruk dan jelek.”


لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ.

Dari Aisyah bahwa Nabi saw bersabda, “Allah tidak menerima shalat wanita dewasa kecuali kerudung.” (HR. Abu Dawud).

Batasan menutup aurat adalah jika orang yang shalat menutupnya dengan sesuatu yang tidak menampakkan warna kulit, jika dia menutup dengan sesuatu yang demikian maka shalatnya tidak sah karena dianggap belum menutup aurat.

Kelima: Niat

Dasar niat sebagai syarat sah shalat adalah sabda Nabi saw,


إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ – وَفِي رِوَايَةٍ : بِالنِّيَّاتِ – وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى .

“Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat –dalam sebuah riwayat, dengan niat-niat- dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya).

Salah satu fungsi niat adalah sebagai pembeda antara satu shalat dengan lainnya, karena sebagian shalat memiliki kesamaan dalam pelaksanaannya dengan shalat yang lain, jadi diperlukan niat sebagai pembeda antara zhuhur dengan asar misalnya.

Niat sebagai syarat sah shalat cukup ada di dalam hati, tidak perlu dilafazhkan, karena melafazhkannya tidak memiliki dasar dari Rasulullah saw.

Aisyah berkata, “Rasulullah saw memulai shalat dengan takbir.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Nabi saw mengajarkan shalat kepada orang yang shalat dengan buruk, beliau bersabda kepadanya, “Jika kamu berdiri shalat maka bertakbirlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Jika sebelum takbir ada lafazh niat tertentu, maka Aisyah akan menyampaikannya kepada kita dan Nabi saw pasti akan mengajarkannya kepada laki-laki tersebut. Wallahu a'lam.

(Rujukan Fiqh as-Sunnah Sayyid Sabiq, al-Uddah Bahauddin Abdur Rahman al-Maqdis)

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT ( Syarat Sah Shalat )

Syarat Sah Shalat


Setiap ibadah memiliki syarat yang wajib dipenuhi sehingga ibadah tersebut dihukumi sah dalam arti dzimmah mukallaf sudah terbebas darinya dan dia tidak wajib mengulangnya. Syarat merupakan salah satu unsur di mana ia menjadi pijakan sah dan tidaknya suatu ibadah. Dari sini maka ilmu tentang syarat sah shalat termasuk ilmu yang penting karena ilmu ini termasuk ukuran yang dengannya kita bisa mengetahui sah dan tidaknya shalat.

Pertama: Bersuci atau thaharah baik dari hadas maupun dari najas.
Bersuci sebagai syarat sah shalat tidak diperdebatkan oleh para ulama.

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Maidah: 6).

Sabda Nabi saw,


لاَ يَقْبَلُ اللهَ صَلاَةَ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ .

“Allah tidak menerima shalat orang yang berhadas sehingga dia berwudhu.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah).

Sabda Nabi saw,


لاَ يَقْبَلُ اللهَ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ .

“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari penggelapan harta rampasan perang.” (HR. Jama’ah selain al-Bukhari).

Sabda Nabi saw kepada Asma` tentang darah haid,


حُتِيْهِ ثُمَّ اقْرُصِيْهِ ثُمَّ اغْسِلِيْهِ بِالمَاءِ وَصَلىِّ فِيْهِ .

“Keriklah kemudian kuceklah kemudian cucilah dengan air dan gunakanlah shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ayat dan tiga hadits di atas menetapkan bersuci: bersuci hadas dan bersuci najas sebagai syarat shalat. Hanya saja terdapat perbedaan di antara bersuci hadas dan bersuci najas sebagai syarat sah shalat dalam kondisi jika seseorang shalat dalam keadaan lupa tidak bersuci hadas dengan lupa tidak bersuci najas, untuk kondisi yang pertama dia wajib mengulang dan tidak untuk kondisi yang kedua.

Kondisi pertama mengulang karena bersuci hadas termasuk ke dalam perintah, suatu perintah yang belum dilaksanakan adalah hutang di atas pundak mukallaf, memang dalam kondisi ini dia tidak berdosa karena dia tidak sengaja, akan tetapi hal tersebut belum menggugurkan kewajibannya karena dia belum melaksanakannya. Sebaliknya kondisi kedua, ia termasuk ke dalam larangan, artinya shalat dengan najas dilarang, suatu larangan yang dilakukan karena lupa, begitu dia teringat maka dia langsung meninggalkannya, dan tidak ada apa-apa atasnya.

Imam Abu Dawud, Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri bahwa Nabi saw melepaskan sandalnya di dalam shalat lalu para sahabat melepas sandal mereka, Nabi saw bersabda, “Mengapa kalian melepas sandal kalian?” Mereka menjawab, “Kami melihat engkau melepas sandal maka kami pun melepas sandal kami.” Nabi saw bersabda, “Jibril datang kepadaku dan memberitahuku bahwa pada kedua sandalku terdapat najis.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.

Hadits ini menunjukkan bahwa shalat Nabi saw dengan sandal najis karena tidak tahu sebelum beliau diberitahu Jibril hukumnya sah, jika tidak niscaya beliau akan mengulang shalat dari awal dan itu tidak beliau lakukan.

Dari hadits ini kita bisa mengambil faidah, jika seseorang shalat dengan pakaian najis karena lupa atau tidak tahu, lalu dia ingat atau tahu pada saat shalat, jika pakaian tersebut dibuka tidak mengakibatkan terbukanya aurat maka ia dibuka dan orang yang shalat tetap meneruskan shalatnya, jika pakaian tersebut dibuka dan mengakibatkan terbukanya aurat maka orang yang shalat harus menghentikan shalatnya dan menggantinya dengan yang suci.

Dalam fatwa Lajnah Da`imah nomor 9814 disebutkan bahwa Umar bin Khattab shalat sebagai imam dalam keadaan junub, Umar lupa, lalu dia mengulang shalat Subuh dan tidak memerintahkan orang-orang yang shalat di belakangnya untuk mengulang.

Kedua: Waktu. Shalat fardhu yang lima telah ditentukan waktunya, awal dan akhirnya.
Ketentuan waktu ini tidak boleh dilanggar karena jika dilanggar maka hal itu termasuk melanggar batasan-batasan yang diletakkan Allah dan RasulNya, barangsiapa shalat sebelum waktu maka shalatnya harus diulang karena shalat sebelum waktu tidak berdasar kepada perintah peletak syariat, jadi ia tidak sah, barangsiapa shalat sesudah waktu, jika hal itu disengaja maka shalatnya tidak sah dengan alasan yang sama dengan shalat sebelum waktu, jika karena lupa atau karena tertidur maka dimaafkan dan dia tetap shalat ketika dia ingat atau terjaga.
Sabda Nabi saw,


مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ

“Barangsiapa lupa shalat maka hendaknya dia shalat jika dia mengingatnya, tidak ada kafarat selain itu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas).

Dalil-dalil yang menetapkan waktu shalat.
Firman Allah, “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa`: 103).

Firman Allah, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam.” (Hud: 114).

Firman Allah, “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Isra`: 78).

Sabda Nabi saw,


وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَالَمْ يَحْضُرِ العَصْرُ، وَوَقْتُ العَصْرِ مَالَمْ تَصْفّرَّ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ المَغْرِبِ مَالَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ العِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الفَجْرِ، مَالَمْ تَطْلُعُ الشَّمْسُ، فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانِ.

“Waktu Zhuhur apabila matahari tergelincir dan bayangan seseorang seperti panjangnya sebelum masuk waktu Asar, waktu Asar sebelum matahari bersinar kuning, waktu Maghrib sebelum awan merah terbenam, waktu Isya` sampai setengah malam yang tengah, waktu shalat Subuh dari terbit fajar selama matahari belum terbit, jika matahari terbit maka jangan malakukan shalat karena ia terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Muslim dari Ibnu Amru).

Seseorang dianggap shalat pada waktunya jika mendapatkan satu rakaat darinya pada waktu shalat tersebut.
Sabda Nabi saw,


مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat maka dia telah mendapatkan shalat tersebut.” (HR. Jama’ah).

(Rujukan Fiqh as-Sunnah Sayyid Sabiq, al-Uddah Bahauddin Abdur Rahman al-Maqdisi)

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT (Masalah Fatihah)

Masail al-Fatihah
Apakah wajib al-Fatihah di setiap rakaat ?

Madzhab Imam yang tiga, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad berkata, al-Fatihah wajib dalam setiap rakaat. Madzhab Abu Hanifah berkata, wajib membaca hanya pada dua rakaat pertama, dan yang dibaca tidak harus al-Fatihah, adapun dua rakaat terakhir maka membaca tidak wajib, mushalli bertasbih jika berkenan atau diam jika berkenan.

Pendapat pertama berdalil kepada hadits-hadits, di antaranya:

1- Hadits Abu Qatadah berkata, “Rasulullah saw membaca dalam shalat Zhuhur dan Ashar dalam dua rakaat yang pertama Fatihatul Kitab dan dua surat, terkadang kami mendengar ayat dan beliau membaca dalam dua rakaat yang terakhir dengan Fatihatul Kitab.” (HR. Muslim).

2- Hadits Abu Hurairah dalam shahih al-Bukhari dan Muslim tentang laki-laki yang shalat tidak benar, di akhir hadits Nabi saw bersabda,


ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلَِّهَا
“Kemudian lakukanlah itu dalam semua shalatmu.”

Dalam riwayat al-Baihaqi,


ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ
“Kemudian lakukan itu dalam setiap rakaat.” Sanadnya dinyatakan shahih oleh an-Nawawi.

3- Hadits Malik bin al-Huwairits,


صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Al-Bukhari).

Dan sudah terbukti secara shahih bahwa Nabi saw membaca al-Fatihah dalam setiap rakaat sebagaimana dalam hadits Abu Qatadah di atas.

Pendapat kedua berdalil kepada :

1- Dari Ibnu Abbas berkata, “Aku tidak mengetahui apakah Rasulullah saw membaca dalam shalat Zhuhur dan Ashar atau tidak.” (HR. Abu Dawud). Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih.”.

2- Dari Abdullah bin Abdullah bin Abbas berkata, “Kami datang kepada Ibnu Abbas, kami berkata kepada seorang pemuda, ‘Tanyakan kepada Ibnu Abbas apakah Rasulullah saw membaca dalam shalat Zhuhur dan Ashar?’ Dia menjawab, “Tidak.” (HR. Abu Dawud). An-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih.”

Pendapat pertama rajih karena ketidaktahuan atau penafian Ibnu Abbas tidak bertentangan dengan penetapan Abu Hurairah dan Abu Qatadah, yang tidak tahu berkata tidak tahu, dan tidak tahu tentang sesuatu bukan berarti ia tidak ada, begitu pula dalam masalah ini, Ibnu Abbas tidak menetapkan, ini bukan hujjah, karena yang menjadi hujjah adalah yang menetapkan.

Bagaimana jika al-Fatihah tertinggal karena lupa?

Pendapat yang shahih dalam masalah ini adalah bahwa kewajiban membacanya tidak gugur karena lupa, sebab ia adalah rukun, rukun tidak gugur kewajibannya karena lupa, jika mushalli teringat pada saat ruku’ atau setelahnya sebelum berdiri kepada rakaat kedua maka dia kembali berdiri dan membacanya. Jika dia teringat setelah dia berdiri di rakaat kedua maka rakaat pertama gugur dan rakaat kedua menjadi yang pertama. Jika dia teringat setelah salam dan waktunya belum jauh, maka dia harus kembali shalat, melanjutkan apa yang telah dia kerjakan lalu dia melaksanakan rakaat tambahan dan sujud sahwi. Jika waktunya sudah jauh maka dia mengulang shalatnya. Wallahu a'lam.

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT (Jika Imam Berdiri ke Rakaat Tambahan)

Misalnya ke rakaat kelima dalam shalat empat rakaat atau ke rakaat keempat dalam shalat Maghrib atau ke rakaat ketiga dalam shalat Shubuh.

Makmum terbagi menjadi empat kelompok:

Kelompok pertama, mengikuti imam karena mengira imam benar dan tidak salah. Shalat mereka sah.

Kelompok kedua, mengetahui bahwa imam menambah, mereka bertasbih tetapi imam tetap berdiri, mereka tidak mengikutinya, mereka tetap duduk menunggu salam imam untuk salam bersamanya. Ini benar dan shalat mereka sah.

Kelompok ketiga, sama dengan kelompok kedua, hanya saja mereka tidak menunggu salam imam untuk salam bersamanya. Ini benar dan shalat mereka sah, hanya saja yang sebelumnya yaitu yang salam bersama imam lebih baik karena di sana ada mutaba’ah.

Keempat, mengetahui imam menambah lalu mereka mengikutinya. Ini yang salah.

Bagaimana dengan shalat imam?

Jika pada saat berdiri, imam yakin dirinya benar dan bahwa itu bukan rakaat tambahan, walaupun dia mendengar tasbih makmum, maka shalatnya sah, alasannya karena dia tidak mengetahui kekeliruan dirinya. Tetapi jika pada saat berdiri dia ragu-ragu atau tidak memastikan kebenaran dirinya atau bahkan mengetahui bahwa ini adalah rakaat tambahan, namun demikian dia tidak mengikuti tasbih para makmum, maka shalatnya tidak sah, alasannya karena dia menambah.

Bagaimana dengan makmum masbuq dalam kasus ini?

Misalnya dalam shalat Shubuh, masbuq mendapatkan rakaat kedua, berarti dia masbuq satu rakaat, pada rakaat akhir atau kedua, imam berdiri ke rakaat ketiga, bisakah masbuq ini menganggap rakaat ketiga imam itu sebagai rakaat kedua baginya sehingga dia tetap mengikuti imam?

Jawabannya, ada dua kemungkinan: bisa atau tidak bisa.
Bisa jika masbuq tidak mengetahui bahwa rakaat ketiga imam tersebut adalah rakaat tambahan, yang dia ketahui rakaat ketiga tersebut adalah rakaat kedua, maka dia mengikutinya, shalatnya sah.

Tidak bisa jika dia mengetahui bahwa rakaat ketiga tersebut adalah rakaat tambahan dan jika dia tetap mengikuti imam dalam kondisi ini maka shalatnya tidak sah, karena dia mengikuti imam dalam rakaat yang dia ketahui bahwa rakaat itu adalah rakaat tambahan, ini artinya dia bermakmum kepada imam yang shalatnya rusak dan dia mengetahui hal itu. Lalu apa yang dia lakukan? Mufaraqah atau memisahkan diri dari imam, karena dia mengetahui shalat imam pada rakaat tersebut tidak sah. Wallahu a'lam

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT (JIka Imam Shalat dengn Duduk )

Jika Imam Shalat Dengan Duduk



Jika imam shalat dengan duduk karena tidak mampu berdiri sementara makmum mampu berdiri, apakah makmum shalat dengan berdiri atau dengan duduk?
Madzhab dua Imam: Abu Hanifah dan asy-Syafi'i berkata, makmum shalat dengan berdiri. Madzhab Imam Malik berkata, makmum shalat dengan duduk. Madzhab Imam Ahmad berkata, jika imam memulai shalat dengan berdiri lalu dia duduk di tengah-tengah shalat karena alasan tertentu maka makmum tetap berdiri, tetapi jika imam memulai shalat dengan duduk maka makmum shalat dengan duduk.

Perbedaan ini bermula dari adanya dua hadits:

Pertama, hadits Aisyah bahwa pada saat Nabi saw sakit di mana pada sakit tersebut beliau wafat, beliau memerintahkan Abu Bakar agar menjadi imam, ketika Abu Bakar masuk ke dalam shalat, Rasulullah saw merasa sakitnya ringan, maka beliau berdiri dengan dipapah oleh dua orang sahabat, kedua kaki beliau menginjak tanah, beliau hadir dan duduk di sebelah kiri Abu Bakar, maka Rasulullah saw menjadi imam bagi orang-orang dengan duduk sedangkan Abu Bakar berdiri mengikuti shalat Rasulullah saw sementara orang-orang mengikuti shalat Abu Bakar. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 4/265 berkata, “Hadits ini menetapkan secara jelas bahwa Nabi saw adalah imam sebab beliau duduk di sebelah kiri Abu Bakar, di samping ucapannya dalam hadits, “Maka Rasulullah saw menjadi imam bagi jamaah dengan duduk sedangkan Abu Bakar berdiri mengikuti shalat Rasulullah saw…” menunjukkan bahwa Nabi saw sebagai imam.

Hadits ini dijadikan sebagai pijakan oleh dua imam: Abu Hanifah dan asy-Syafi'i.

Kedua, hadits Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, “Imam dijadikan sebagai imam agar dia diikuti, maka jangan berselisih atasnya… Jika dia shalat dengan duduk maka shalatlah dengan duduk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini merupakan perintah kepada makmum agar shalat dengan duduk jika imam shalat dengan duduk. Hadits ini adalah pegangan Imam Malik.

Imam Ahmad menggabungkan kedua hadits tersebut, hadits pertama berlaku jika imam memulai shalat dengan berdiri kemudian duduk di tengah shalat maka makmum tetap berdiri, sedangkan hadits kedua berlaku jika imam memulai shalat dengan duduk maka makmum shalat juga dengan duduk. Ini adalah penggabungan yang baik Wallahu a'lam

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT (Shalat Musafir)

Salah satu karasteristik syariat Islam adalah keluwesan atau fleksibilitas, salah satu kaidah syariat berkata, “Jika perkara itu sempit maka hukumnya lapang, jika perkara itu lapang maka hukumnya sempit.” Artinya, kondisi sempit dan sulit melahirkan keluasan dan kelapangan dalam hukum, namun jika kondisi kembali normal maka hukum itu akan kembali menyempit seperti sedia kala.

Kaidah di atas berpijak kepada dalil-dalil, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (Al-Baqarah: 185), firman Allah Ta’ala, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan kesempitan di dalam agama untukmu.” (Al-Haj: 78), firman Allah Ta’ala, “Bertakwalah kepada Allah semampumu.” (At-Taghabun: 16).

Sabda Nabi saw, “Jika aku melarang kalian dari sesuatu maja jauhilah dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sebatas kesanggupanmu.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah).

Sabda Nabi saw, “Sesungguhnya agama itu mudah dan agama tidak dipersulit kecuali ia akan mengalahkan.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Kondisi safar (bepergian) tidak sama dengan kondisi iqamah (tinggal), kondisi safar secara umum lebih sulit dan lebih repot daripada kondisi iqamah, dari sini maka syariat yang luwes ini mempertimbangkannya dengan memberikan rukhshah (keringanan) bagi musafir dalam safarnya, di antaranya adalah rukhshah dalam mendirikan shalat berupa qashar dan jamak.

Qashar

Qashar secara bahasa berarti meringkas, secara istilah adalah meringkas shalat yang jumlah rakaatnya empat dengan melaksanakan setengahnya.

Dasar hukum qashar:

1- Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila kamu telah bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa bagimu jika kamu mengqashar shalat jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (An-Nisa`: 101).

Faidah, firman Allah, “Jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.” Bagaimana jika keadaannya sudah aman, tidak ada lagi ketakutan terhadap serangan dan gangguan mereka, apakah qashar masih berlaku?

Jawabannya adalah hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ya’la bin Umayyah yang bertanya kepada Umar bin al-Khatthab, “Bagaimana pendapatmu tentang qashar di hari ini, bukankah Allah berfirman, ‘Jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.’ ketakutan itu sudah tidak ada lagi?” Maka Umar menjawab, “Aku menanyakan hal yang sama kepada Nabi saw, maka beliau bersabda, ‘Sedekah dari Allah, terimalah sedekahNya.”

2- Ibnu Umar berkata, “Aku menyertai Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar dalam perjalanan mereka, semuanya tidak mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Para ulama telah bersepakat disyariatkannya qashar dalam safar, sekalipun di antara mereka terjadi perbedaan terkait dengan hukumnya, kita akan membahasnya nanti, insya Allah.


Syarat-syarat Qashar

1- Safar, tanpanya qashar tidak ada qashar, orang yang berhak mengqashar hanyalah musafir dan seseorang belum dihukumi musafir kecuali jika dia sudah berangkat meninggalkan kotanya, adapun orang yang baru berniat atau bersiap-siap maka dia bukan musafir, akan tetapi calon musafir.
Dalil dari syarat ini adalah ayat di atas yang menggunakan kata kerja betuk lampau, yaitu ضربتم yang berarti telah bepergian. Anas berkata, “Aku shalat Zhuhur bersama Nabi saw di Madinah empat rakaat dan di Dzul Hulaifah dua rakaat.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

2- Tujuan bepergian adalah sesuatu yang minimal dibolehkan, qashar adalah rukhshah, maka ia tidak boleh diberikan kepada musafir pelaku dosa, sebab hal itu berarti membantunya melakukan dosa.

3- Jarak tempuh perjalanannya mencapai batas minimal, yaitu delapan puluh kilo meter kurang lebih, menurut mayoritas ulama. Kita akan bahas lebih rinci insya Allah.

4- Tidak bermakmum kepada imam muqim. Ibnu Abbas ditanya, “Mengapa musafir shalat dua rakaat jika shalat sendiri dan empat rakaat jika di belakang muqim?” Dia menjawab, “Demikianlah sunnahnya.” (Diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad).

5- Niat qashar sebelum shalat, karena Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT (Masa`il Qashar)

1- Jika seseorang meninggalkan shalat ketika dia muqim karena lupa atau tertidur, lalu dia hendak melaksanakannya ketika dia musafir, maka dia melaksanakannya dengan tidak mengqasharnya, karena shalat tersebut adalah shalat yang wajib pada saat dia muqim, maka dia melaksanakannya sebagai muqim, sekalipun saat itu dia musafir.

2- Jika seseorang meninggalkan shalat ketika dia musafir karena lupa atau tertidur, lalu dia hendak melaksanakannya ketika dia muqim, maka dia melaksanakannya dengan tidak mengqasharnya, karena kondisinya saat itu adalah muqim bukan musafir, maka dia shalat sebagai muqim.

3- Jika musafir berniat tinggal di suatu daerah dalam waktu tertentu, seminggu atau dua minggu atau sebulan, maka dia dianggap musafir dan berhak mengambil rukhshah safar selama empat hari, berdasarkan perbuatan Nabi saw di haji Wada’, bahwa beliau datang ke Makkah di Shubuh hari keempat Dzul Hijjah, beliau bermuqim hari keempat, kelima, keenam dan ketujuh, dan beliau shalat Shubuh hari kedelapan lalu berangkat ke Mina, selama empat hari itu beliau mengqashar shalat dan beliau memang berniat untuk tinggal.

Berbeda dengan musafir yang tidak berniat untuk tinggal dalam waktu tertentu, akan tetapi dia tinggal sebatas hajat atau kepentingan yang belum dipastikan kapan akan terselesaikan dan begitu hajatnya tersebut terselesaikan maka dia akan pulang, maka dia tetap musafir dan berhak mengambil rukhshah safar sekalipun waktunya lama, berdasarkan perbuatan Nabi saw, bahwa beliau tinggal di Makkah di tahun Fathu Makkah selama sembilan belas hari, selama itu beliau mengqashar shalat dan beliau tinggal di Tabuk selama dua puluh hari, selama itu beliau mengqashar shalat.

4- Jika musafir tinggal di suatu daerah dan di sana ada masjid untuk shalat berjamaah, maka hendaknya yang bersangkutan shalat di masjid dengan berjamaah sekalipun hal itu membuatnya tidak bisa mengqashar shalat, karena shalat berjamaah lebih tinggi derajatnya daripada qashar, namun jika menggabungkan jamaah dengan qashar dimungkinkan maka hal tersebut baik.

Perbincangan Seputar Qashar

1- Hukum qashar

Madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali berkata, boleh qashar, boleh itmam (menyempurnakan) dan qashar lebih utama. Madzhab Hanafi berkata, qashar wajib.

Madzhab yang mewajibkan berdasar kepada perbuatan Nabi saw yang selalu mengqashar dalam safar, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang disebutkan sebelumnya. Madzhab ini juga berdalil kepada hadits Aisyah yang berkata, “Shalat diwajibkan dua rakaat dua rakaat, lalu shalat safar ditetapkan (dua rakaat) dan shalat hadhar (tinggal) ditambah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Sementara madzhab yang membolehkan berdasar kepada firman Allah Allah, “Jika kamu bepergian di muka bumi maka tidak mengapa bagimu… (An-Nisa`: 101). Imam Syafi’ berkata, “Kalimat ‘La junaha, tidak mengapa’ hanya digunakan untuk yang mubah.

Madzhab ini juga berdasar hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Usman shalat di Mina empat rakaat dan hal itu diikuti oleh para sahabat. Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw shalat di Mina dua rakaat, Abu Bakar dan Umar setelahnya, juga Usman di awal khilafahnya, kemudian setelah itu Usman shalat empat rakaat.” Nafi’, rawi dari Ibnu Umar berkata, “Jika Ibnu Umar shalat bersama imam maka dia shalat empat rakaat dan jika dia shalat sendiri maka dia shalat dua rakaat.” Diriwayatkan oleh Muslim.

2- Kriteria safar qashar

Madzhab Maliki, Sayafi’i dan Hanbali berkata, qashar boleh dalam segala safar yang bukan kemaksiatan, mencakup safar wajib, safar ketaatan atau safar mubah dan tidak boleh dalam safar maksiat.

Madzhab Hanafi berkata, qashar boleh dalam segala safar sekalipun safar maksiat.

Madzhab kedua berdalil kepada ayat qashar, “Jika kamu bepergian…” Ayat ini membolehkan qashar tanpa membatasinya dengan safar tertentu.

Sedangkan madzhab pertama, dan ini adalah madzhab yang kuat, berdalil kepada firman Allah, “Barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa berbuat dosa…” (Al-Maidah: 3), Allah memberi rukhshah bagi orang yang terpaksa untuk makan yang haram dengan syarat tidak berbuat dosa, ini berarti bahwa rukhshah hanya berlaku dalam keadaan tidak berbuat dosa, di samping itu pemberian rukhshah kepada pelaku dosa, dalam batas-batas tertentu, mengandung bantuan kepadanya dan ini berarti tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.

3- Jarak Safar Qashar

Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali menetapkan jarak safar qashar adalah 4 (empat) barid, 1 barid adalah 4 farsakh, maka 16 (enam belas) farsakh, 1 farsakh adalah 3 (tiga) mil, jadi 3 X 16 = 48 mil.
Madzhab Hanafi berkata tidak boleh qashar kecuali dalam perjalanan tiga malam.

Pendapat pertama berdalil kepada riwayat Atha` bin Abu Rabah bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas shalat dua rakaat dan berbuka jika melakukan safar dengan jarak empat barid ke atas. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih.”

Atha` berkata, “Ibnu Abbas ditanya, ‘Bolehkah aku mengqashar shalat ketika aku pergi ke Arafah?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Tidak, akan tetapi ketika kamu pergi ke Usfan, Jeddah dan Thaif.” Diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dan al-Baihaqi.

Adapun pendapat kedua maka ia berkata bahwa safar hanya disebut safar jika perjalanannya mengambil waktu tiga malam, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Janganlah seorang wanita melakukan safar tiga malam kecuali bersama mahramnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Perbedaan pendapat dalam masalah ini berawal dari tidak adanya patokan jarak yang diletakkan oleh Nabi saw secara langsung dan biasanya perjalanan dengan jarak kurang lebih empat puluh delapan mil layak disebut dengan perjalanan. Wallahu a’lam

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT ( JAMAK)

JAMAK

Jamak berarti mengumpulkan dan menggabungkan, yakni mengumpulkan dan menggabungkan dua shalat dengan melaksanakan keduanya di salah satu waktunya.

Jamak adalah rukhshah (keringanan) yang boleh diambil dalam beberapa kondisi berikut:

1- Safar (perjalanan) dengan syarat dan ketentuan yang berlaku untuk mengqashar shalat, Muadz bin Jabal berkata, “Dalam perang Tabuk, jika Nabi saw berangkat sesudah matahari tergelincir maka beliau menjamak antara Zhuhur dengan Ashar, jika beliau berangkat sebelum matahari tergelincir maka beliau menunda Zhuhur dan menjamaknya dengan Ashar.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”

2- Jamak di Arafah dan Muzdalifah bagi jamaah haji, yang pertama untuk Zhuhur dengan Ashar jamak taqdim (Ashar dilaksanakan di waktu Zhuhur) dan yang kedua untuk Maghrib dengan Isya` jamak ta`khir (Maghrib dilaksanakan di waktu Isya`). Dalam hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim tentang sifat haji Nabi saw, “…Kemudian Nabi saw memerintahkan supaya adzan dikumandangkan yang dilanjutkan dengan iqamat, lalu beliau shalat Zhuhur kemudian beliau memerintahkan agar iqamat dikumandangkan lalu beliau shalat Ashar, beliau tidak shalat apa pun di antara keduanya….Beliau datang di Muzdalifah, di sana beliau shalat Maghrib dan Isya` dengan satu adzan dan dua iqamat…”

3- Jamak karena hujan, hujan yang membasahi baju, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “Dan Allah tidak menjadikan suatu kesempitan bagimu dalam agama.” (Al-Haj: 78). Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyebutkan bahwa Aban bin Usman menjamak antara Maghrib dengan Isya` dalam malam yang hujan dan hal itu diikuti oleh para ulama tabiin besar, sehingga ia merupakan ijma’ (kesepakatan dari mereka).

4- Jamak karena hajat, Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah saw menjamak antara Zhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya` di Madinah bukan karena takut, bukan pula karena hujan.” Waki’, rawi dari Ibnu Abbas berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Mengapa Rasulullah saw melakukan hal itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Agar tidak menyulitkan umatnya.” Dalam riwayat Abu Mu'awiyah, Ibnu Abbas ditanya, “Apa maksud Nabi saw dengan melakukan itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Beliau tidak ingin menyulitkan umatnya.” Diriwayatkan oleh Muslim.

5- Jamak karena sakit berdasarkan izin Nabi saw kepada Hamnah binti Jahsy, seorang wanita mustahadhah untuk menjamak dua shalat karena istihadhah. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Baihaqi dan al-Hakim.

Masa`il Jamak

1- Apakah jamak taqdim lebih utama daripada jamak ta`khir atau sebaliknya? Jawabannya, tidak. Taqdim tidak lebih utama daripada ta`khir dan tidak pula sebaliknya, karena jamak dilakukan berdasarkan hajat maka yang lebih utama adalah yang lebih mudah, jika taqdim lebih mudah maka ia lebih utama, jika ta`khir lebih mudah maka ia lebih utama, oleh karena itu dalam perang Tabuk jika Nabi saw berangkat sesudah matahari tergelincir maka beliau menjamak antara Zhuhur dengan Ashar, jika beliau berangkat sebelum matahari tergelincir maka beliau menunda Zhuhur dan menjamaknya dengan Ashar, hal ini beliau lakukan demi mencari yang lebih mudah.

2- Jika jamak dilakukan maka adzan cukup dikumandangkan satu kali sebelum shalat yang pertama untuk kedua shalat, sedangkan iqamat tetap dua kali untuk masing-masing shalat, dan sunnah di antara kedua shalat tersebut adalah tidak ada shalat apa pun, hal ini berdasarkan ucapan Jabir dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, “…Kemudian Nabi saw memerintahkan supaya adzan dikumandangkan yang dilanjutkan dengan iqamat, lalu beliau shalat Zhuhur kemudian beliau memerintahkan agar iqamat dikumandangkan lalu beliau shalat Ashar, beliau tidak shalat apa pun di antara keduanya…”

3- Jika jamak ta`khir yang dipilih maka shalat yang pertama dilakukan adalah shalat sebelumnya bukan shalat di mana jamak tersebut hendak dilakukan, misalnya jamak ta`khir antara Zhuhur dan Ashar, shalat yang pertama dilakukan adalah Zhuhur kemudian Ashar, hal yang sama berlaku untuk Maghrib dengan Isya`, hal ini karena shalat Zhuhur sebelum shalat Ashar, maka haknya harus didahulukan.

4- Jika jamak taqdim dilakukan di antara Maghrib dengan Isya` di masjid karena hujan, maka setelahnya boleh melakukan shalat Witir atau shalat Tarawih, jika hal ini terjadi di bulan Ramadhan, karena pelaksanaan shalat Witir atau Tarawih adalah ba’da shalat Isya` dan dalam kondisi ini shalat Isya` sudah dilaksanakan.

5- Tidak ada keterkaitan langsung antara jamak dengan qashar, dalam arti orang yang menjamak tidak harus mengqashar dan orang yang mengqashar tidak harus menjamak, orang yang boleh menjamak belum tentu boleh mengqashar, karena sebab qashar adalah safar sedangkan sebab jamak adalah hajat dan ia mungkin terjadi tanpa safar, sebaliknya orang yang boleh mengqashar boleh menjamak sekali pun tidak harus, buktinya Nabi saw shalat lima waktu di Mina di hari Tarwiyah dengan qashar tanpa jamak sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir.

KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT (Shalat Khauf )

Ini adalah merupakan bentuk shalat bagi orang-orang yang memiliki udzur syar’I, yang mana gerakan, jumlah rekaat dan tata caranya berbeda dengan shalat pada umumnya.

Pengertian Shalat Khauf

Menurut bahasa, shalat berarti do’a. Dan menurut istilah shalat berarti ibadah kepada Allah yang memiliki ucapan dan perbuatan tertentu dan khusus, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Disebut shalat karena mencakup (berisi) do’a ibadah dan do’a permohonan.

Sedangkan kata khauf, secara bahasa berarti takut. Dan menurut istilah, khauf berarti kegoncangan di dalam diri karena khawatir terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, atau hilangnya sesuatu yang disukai. Diantara hal itu adalah rasa takut dijalanan. Jadi shalat khauf dapat dipahami bahwa ia adalah penunaian shalat yang di fardhukan (diwajibkan) yang dilakukan pada saat-saat genting atau kondisi yang mengkhawatirkan dengan cara tertentu.

Hukumnya

Shalat khauf disyariatkan dalam setiap peperangan yang dibolehkan, seperti memerangi orang-orang kafir, pemberontak, dan para perampok atau penyamun sebagaiman firman Allah yang artinya, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisaa’ : 101)

Dan di hukumi sama terhadap yang lain yang semisal dengannya dari orang-orang yang boleh diperangi.

Dan tidak diperbolehkan pada peperangan yang diharamkan.

Dalil di Syariatkannya

Shalat khauf adalah disyariatkan hal itu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.

Dari al-Qur’an, Yaitu firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat,lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (QS. An-Nisaa’ : 102)

Dari Sunnah, sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Telah shahih shalat khauf dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam 5 atau 6 bentuk (cara) yang semuanya adalah dibolehkan”.

Dan hal itu adalah telah di syariatkan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan hal itu terus berlangsung hingga akhir zaman.

Dalil ijma’, para sahabat dan seluruh imam telah ijma’ terhadap disyariatkannya shalat khauf, kecuali beberapa gelintir saja yang menyelisihinya yang tidak dianggap.

Shalat khauf dilakukan ketika dibutuhkan, baik dalam kondisi safar atau mukim (tidak safar), apabila dikhawatirkan musuh menyerang kaum muslimin. Karena yang menyebabkan bolehnya shalat khauf itu adalah karena ada rasa takut bukan sebab safar, akan tetapi shalat khauf yang dilakukan ketika mukim adalah tanpa mengurangi jumlah rekaat dari yag telah ditentukan, hanya saja yang dikurangi dalam shalat tersebut adalah kaifiyah (tata cara) shalatnya. Dan shalat khauf dalam kondisi safar dilakukan dengan mengqosor jumlah rekaat yang 4 rekaat, dan dikurangi pula kaifiyah shalatnya.

Syarat-Syaratnya

Shalat khauf disyariatkan dengan dua syarat:

* Hendaknya musuh yang diperangi adalah musuh yang halah (dibolehkan) untuk diperangi, seperti orang kafir harbi, pemberontak, dan para perampok atau yang lainnya.

* Dikhawatirkan penyerangan mereka terhadap kaum muslimin dilakukan pada waktu-waktu shalat.



Kaifiyah Shalat Khauf

Ada beberapa cara shalat khauf, diantaranya adalah cara yang diajarkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat Sahl bin Abu Hatsmah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu, yang mirip dengan tata cara yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 102. Yang didalamnya hati-hati dalam shalat dan waspada dalam perang, didalamnya juga siaga terhadap musuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukan shalat khauf dengan cara ini pada peperangan Dzatur Riqa’.

Adapun tata caranya sebagaimana dalam riwayat Sahl bin Hatsmah, “Bahwa sekelompok pasukan memebentuk shaf untuk berjama’ah bersama rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sekelompok pasukan lagi menghadap musuh, lalu beliau shalat bersama pasukan yang bersamanya satu rekaat, kemudian beliau tetap berdiri dan pasukan tersebut pun menyelesaikan shalat mereka sendiri-sendiri, kemudian mereka bergegas menuju menghadap musuh. Lalu kelompok (yang awalnya menghadap musuh) datang bergabung dengan shalat rasulullah, maka rasulullah shalat bersama mereka satu rekaat yang tersisa kemudian beliau tetap duduk, lalu pasukan tersebut menyempurnakan shalat masing-masing, kemudian rasulullah salam bersama mereka”. (HR Muslim no. 841)

Oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim
Sumber : Al-Fiqh Al-Muyassar fi Dhau’ Al-Kitab wa As-Sunnah, Al-Mulakhas Al-Fiqhiy, karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, dll.